logo Kompas.id
EkonomiSerapan...
Iklan

Serapan TerkendalaInfrastruktur

Oleh
· 4 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Kendati pemerintah menyatakan pasokan gas di dalam negeri cukup dan tak perlu impor, serapan gas tidak optimal lantaran keterbatasan infrastruktur dalam negeri. Tahun ini terdapat 40 kargo gas belum terkontrak dan dijual di pasar tunai atau spot dengan harga lebih murah. Pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, terasa ironi di tengah kecukupan pasokan gas, tetapi pada saat yang sama masih ada sejumlah kargo gas yang tidak terserap di dalam negeri. Ia menilai, hal ini terutama disebabkan infrastruktur gas di dalam negeri belum siap. Diperkirakan, hingga 2030, dibutuhkan investasi sampai Rp 650 triliun untuk membangun infrastruktur gas tersebut. "Kargo gas tak terserap karena infrastrukturnya minim. Misalnya, terminal penerima gas alam cair (LNG) serta jaringan pipa transmisi dan distribusi yang menghubungkan ke konsumen akhir," kata Pri Agung, Rabu (22/11), di Jakarta. Menurut Pri Agung, kondisi pasar gas dunia saat ini sedang dalam pasokan yang melimpah, seperti shale gas dari Amerika Serikat, gas dari Qatar, dan proyek-proyek gas bumi yang mulai berproduksi. Dalam hal harga, gas dari luar negeri lebih kompetitif lantaran jalur distribusi yang efisien dengan infrastruktur yang lengkap dan memadai. Sementara persoalan gas di Indonesia banyak tersita masalah penurunan harga, bukan membangun infrastruktur. "Di lain sisi, masalah gas di dalam negeri diperumit dengan cara penanganan proyek yang membuatnya tertunda-tunda. Contohnya, proyek gas di Blok Masela, Maluku," ujarnya. Dalam keterangan resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, pihaknya memastikan bahwa impor gas tidak perlu dilakukan, setidaknya sampai 2019. Menurut dia, dalam dua tahun mendatang, masih banyak pasokan gas yang belum terkontrak oleh pembeli. "Tahun ini, kalau tidak keliru, ada sekitar 40 kargo yang belum terkontrak pembeliannya," kata Arcandra.Secara terpisah, Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia pada Kamar Dagang dan Industri Indonesia Achmad Widjaja mengatakan, kalangan industri masih menunggu janji pemerintah menurunkan harga gas. Dari tujuh sektor industri yang berhak mendapat penurunan harga, baru tiga sektor yang terealisasi, yaitu pupuk, baja, dan petrokimia. "Pemerintah harus diingatkan bahwa gas itu sebagai modal penggerak perekonomian nasional, bukan sebagai sumber pendapatan," ujar Achmad.BervariasiMenurut Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi Achmad Safiun, harga gas bumi di setiap wilayah bervariasi. Harga di Sumatera Utara 9,95 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU), di Jawa Barat 9,2 dollar AS per MMBTU, dan di Jawa Timur 8,1-8,2 dollar AS per MMBTU. Komisi VII DPR pernah mengusulkan kepada pemerintah agar gas bumi yang menjadi bagian negara dari hasil produksi oleh kontraktor sebaiknya tidak diekspor, tetapi dijual di dalam negeri dengan harga murah. Jika gas yang menjadi bagian negara dijual murah untuk pembangkit listrik dan industri, dampak berganda yang didapat lebih besar.Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Ego Syahrial mengatakan, pemerintah terus melakukan terobosan agar harga gas untuk industri bisa lebih kompetitif. Terobosan itu berupa Peraturan Menteri ESDM Nomor 40 Tahun 2016 tentang Harga Gas Bumi untuk Industri Tertentu dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 45 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Listrik. "Memang baru untuk listrik (PLN), pupuk, dan baja yang sudah diturunkan. Untuk sektor industri lainnya, kami menunggu rekomendasi dari Kementerian Perindustrian," ucap Ego.Sesuai saran Komisi VII, lanjut Ego, pihaknya akan mengkaji tata kelola gas bumi di dalam negeri. Ia mengatakan, pemerintah terus berusaha merealisasikan harga gas di dalam negeri untuk industri lebih kompetitif. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, ada tujuh sektor industri yang berhak mendapat penurunan harga, yaitu pupuk, baja, petrokimia, oleokimia, kaca, keramik, dan sarung tangan karet. Secara rata-rata, harga diturunkan menjadi kurang dari 6 dollar AS per MMBTU. Penurunan harga berlaku efektif per 1 Januari 2016. (APO)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000