logo Kompas.id
EkonomiStrategi Pemasaran Perlu...
Iklan

Strategi Pemasaran Perlu Diubah

Oleh
· 3 menit baca

BOGOR, KOMPAS — Kekalahan Indonesia dalam sengketa dagang produk peternakan perlu jadi pembelajaran. Selain konsisten memacu daya saing, pemerintah dan pelaku usaha perlu mengubah strategi pasar sekaligus melindungi peternak kecil dan pasar domestik dengan kebijakan yang tidak melanggar aturan perdagangan.Mantan Duta Besar RI untuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Erwidodo, pada seminar bertema "Tantangan Peternakan Nasional Menghadapi Serbuan Produk Impor" yang diselenggarakan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (Asohi) di Bogor, Jawa Barat, Rabu (22/11), berpendapat, sektor peternakan nasional juga menghadapi tantangan terkait masih rendahnya daya saing produk, sementara persaingan antarnegara produsen makin ketat.Hadir sebagai pembicara dalam seminar itu, antara lain, Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) Krissantono, Sekretaris Eksekutif Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) Askam Sudin, Ketua Umum Asosiasi Monogastrik Indonesia Sauland Sinaga, dan Wakil Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia Eddy Wahyudin.Menurut Erwidodo, kekalahan Indonesia atas gugatan Brasil terkait kebijakan impor ayam di WTO, Oktober 2017, bukan akhir segalanya. Sambil merevisi peraturan yang dinilai melanggar ketentuan perdagangan internasional, pemerintah dan pelaku usaha perlu mengatasi berbagai faktor yang menurunkan daya saing antara lain dengan mengefisienkan produksi pakan, proses dan biaya logistik, dan tenaga kerja.Strategi pemasaran juga dinilai perlu diubah, yakni dari strategi "bertahan" dari impor menjadi "menyerang" dengan promosi ke pasar luar negeri. Erwidodo menilai pengurangan populasi ayam merupakan kebijakan yang tak tepat. Populasi ayam dikurangi karena produksi dinilai berlebih dan memicu penurunan harga jual di tingkat peternak. "Kelebihan produksi jadi indikasi bahwa bisnis di sektor itu menjanjikan, idealnya bukan memangkas usaha yang sudah tumbuh, tetapi mencari alternatif pasar," ujarnya.Kalangan peternak unggas dan produsen pakan menyoroti polemik terkait ketersediaan jagung. Mereka menilai stok jagung sebenarnya tidak sebanyak klaim pemerintah. Dampaknya, harga jagung melonjak begitu pemerintah menghentikan impor sekaligus mendongkrak harga pakan. Pakan merupakan kom-ponen terbesar dalam struktur biaya produksi ternak.Menurut Askam Sudin, harga jagung di pedagang umumnya lebih dari Rp 4.000 per kilogram (kg) tahun ini. Harga acuan menurut ketentuan pemerintah adalah Rp 3.150 per kg di tingkat petani. Kenyataannya, harga mencapai Rp 3.800-Rp 4.000 per kg dan sampai ke perusahaan pakan Rp 4.200 per kg atau lebih. Pada Maret-Agustus 2017, harga jagung tercatat lebih tinggi ketimbang Maret-Agustus 2016.Selain kisruh jagung, kalangan peternak juga mengeluhkan akurasi data yang berdampak kepada peternak. Akibat antisipasi terlambat, peternak unggas menerima harga lebih rendah dari ongkos produksi. Menurut Eddy, Pinsar Indonesia mencatat, sejak awal tahun ini, praktis hanya dua bulan harga jual ayam di tingkat peternak lebih tinggi daripada biaya produksi.Sementara itu, peternak sapi menyoroti kebijakan impor daging beku asal India. Menurut Teguh, selain berpotensi melanggar ketentuan dan risiko penyakit, impor mendistorsi pasar daging di dalam negeri. Sebab, daging kerbau yang awalnya diperuntukkan bagi industri pengolahan akhirnya masuk ke pasar tradisional yang selama ini menjadi lapak daging sapi lokal. (MKN)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000