APBN-APBD Masih Boros
JAKARTA, KOMPAS — Akibat perencanaan dan penganggaran yang tak sinkron, anggaran pemerintah pusat-daerah masih boros. Duplikasi dan tumpang tindih program masih jamak terjadi. Padahal, anggaran belanja telah menembus Rp 2.000 triliun per tahun sejak 2016.
Menjawab pertanyaan Kompas di Jakarta, Kamis (23/11), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, inefisiensi pengelolaan anggaran masih terjadi. Untuk itu, pemerintah mulai menyinkronkan perencanaan dan penganggaran untuk APBN 2018.
Contoh konkret sinkronisasi itu adalah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Keuangan bersinergi dalam perencanaan dan penganggaran. Dengan demikian, program dan kegiatan yang direncanakan untuk sasaran yang telah ditetapkan akan terealisasi persis seperti desain awal. Namun, kebijakan yang baru mulai diterapkan untuk APBN 2018 ini masih terbatas untuk sebagian program prioritas pemerintah. Secara bertahap, sinergi akan diperluas.
”Jadi, setiap uang APBN harus memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat. Caranya, kita terus melakukan penelitian detail bersama dengan Bappenas, kementerian/lembaga negara, dan pemerintah daerah untuk melihat area apa yang bisa diperbaiki,” kata Sri Mulyani.
Sehari sebelumnya, Kementerian Keuangan menggelar seminar di Jakarta bertema ”Sinkronisasi Perencanaan dan Penganggaran yang Lebih Baik”. Deputi Menteri Bappenas Bidang Pendanaan Pembangunan Kennedy Simanjutak, yang hadir sebagai narasumber seminar, menyatakan, ada kesenjangan antara perencanaan dan penganggaran. Hal ini berawal dari undang-undang yang mengatur fungsi penganggaran Kementerian Keuangan dan undang-undang yang mengatur fungsi perencanaan Bappenas yang kurang sinkron.
Akibatnya, APBN dan APBD tidak efektif mendorong pertumbuhan ekonomi. ”Apa yang direncanakan tidak mendapat cukup anggaran. Sebaliknya, apa yang dianggarkan tidak direncanakan,” kata Kennedy.
Ia mencontohkan pembangunan Bandara Kualanamu di Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Dalam perencanaan, pembangunan didesain selama lima tahun dengan anggaran Rp 2 triliun. Realisasinya, waktu pengerjaan molor menjadi tujuh tahun dan anggaran membengkak menjadi Rp 3 triliun.
Contoh lain adalah pengadaan kapal oleh pemerintah. Dalam rencana kerja pemerintah 2017, dianggarkan pengadaan 2.500 kapal. Namun, dalam alokasi anggaran, turun menjadi 1.600 kapal.
Kennedy menambahkan, ada pula temuan Presiden Joko Widodo pada 2015, yakni Bendungan Lhok Guci di Aceh Barat, Provinsi Aceh. Bendungan yang selesai dibangun pada 2008 itu tidak berfungsi karena nihil jaringan irigasi primer dan tersier.
Selain itu, kegiatan kementerian dan lembaga negara acap kali terkonsentrasi di daerah tertentu. Hal ini, misalnya, terjadi di Provinsi Papua Barat. Kegiatan kementerian dan lembaga negara yang berlokasi di provinsi ini hanya terkonsentrasi di tiga kabupaten dan kota. Padahal, total kabupaten dan kota di provinsi ini adalah 13 daerah.
”Yang dicari daerah yang aksesnya mudah. Akibatnya, daerah-daerah yang sulit tidak kebagian. Banyak sekali persoalan seperti ini,” kata Kennedy.
Daerah lebih tinggi
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Boediarso Teguh Widodo menyatakan, masih terjadi banyak duplikasi anggaran antara kementerian-lembaga negara dan pemerintah daerah. Masih banyak pula anggaran kementerian dan lembaga negara yang mendanai urusan pemerintah daerah.
Standar biaya yang digunakan pemda juga cenderung lebih tinggi dari pemerintah pusat. Komponen uang harian di daerah lebih tinggi 50 persen daripada pusat. Honorarium di daerah lebih tinggi 16-30 persen daripada di pusat.
Selain itu, satuan biaya perjalanan dinas di daerah 11-62 persen lebih tinggi daripada di pusat. Satuan biaya rapat dan konsinyering di daerah lebih tinggi 22-68 persen daripada di pusat.
Selain itu, program dan kegiatan di daerah tak memiliki standar. Di setiap daerah ada 150-600 program. Dengan demikian, ada sekitar 19.500 program dan 277.700 kegiatan yang bervariasi antardaerah. (LAS)