Pertimbangkan Risiko
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu mempertimbangkan risiko perusahaan induk badan usaha milik negara pertambangan, baik dalam akuisisi maupun hilirisasi. Perusahaan induk sebaiknya tidak dijadikan sarana pengumpulan dana lewat penjualan sebagian sahamnya kepada publik.
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara RI ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan PT Indonesia Asahan Aluminium.
PP tersebut ditetapkan pada 10 November 2017 dan mulai diundangkan pada 13 November 2017. Dalam PP No 47/2017 diatur bahwa negara menambah penyertaan modal dalam PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).
Menurut Ketua Indonesian Mining Institute Irwandy Arif, ada sejumlah hal yang patut diperhatikan setelah pembentukan perusahaan induk BUMN pertambangan tersebut. Hal yang patut diperhatikan antara lain akuisisi perusahaan tambang dan hilirisasi mineral tambang.
"Akuisisi pertambangan selalu melibatkan valuasi mineral. Valuasi mineral kerap lebih tinggi ketimbang nilai yang sesungguhnya di kemudian hari karena harga komoditas selalu naik turun dan sulit diprediksi dengan akurat," kata Irwandy, Kamis (23/11), di Jakarta.
Ongkos akuisisi yang melebihi nilai sesungguhnya di kemudian hari, lanjut Irwandy, berpotensi tereksposur pada utang. Akibatnya, perusahaan induk akan menekan anak usahanya meningkatkan pendapatan melebihi kapasitas untuk menutup utang.
Terkait hilirisasi mineral tambang, lanjut Irwandy, perusahaan induk juga akan menghadapi risiko. Hilirisasi mineral tambang pada umumnya berada di tengah-tengah dalam mata rantai industri. Hilirisasi tersebut sangat padat modal, tetapi kelayakan ekonominya marginal.
"Sebagai contoh, industri peleburan (smelter) tembaga punya kelayakan ekonomis yang lebih rendah dibanding tambang tembaga itu sendiri. Oleh karena itu, hilirisasi oleh perusahaan induk harus terintegrasi dengan industri yang lebih hilir lagi, misalnya komponen-komponen berbahan tembaga," ujar Irwandy.
Hati-hati
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Partai Golkar Satya Widya Yudha mengatakan, pihaknya masih mengkhawatirkan komersialisasi cadangan mineral yang dimiliki perusahaan induk BUMN pertambangan itu. Komersialisasi yang ia maksud adalah setelah perusahaan induk terbentuk dan modalnya menguat, sebagian saham dijual untuk pengumpulan dana.
"Perlu kehati-hatian dalam hal ini. Jangan sampai pembentukan perusahaan induk hanya sebagai salah satu cara untuk pengumpulan dana dengan menjual sebagian sahamnya," ucap Satya.
Kendati perlu ada kehati-hatian, baik Irwandy maupun Satya, meyakini bahwa pembentukan perusahaan induk BUMN pertambangan dapat menciptakan efisiensi dan meningkatkan nilai perusahaan. Kesempatan menjadikan tata kelola pertambangan di Indonesia lebih baik pun kian terbuka lebar.
Perusahaan induk BUMN pertambangan terdiri dari Inalum, PT Bukti Asam (Persero) Tbk, PT Timah (Persero) Tbk, dan PT Aneka Tambang (Persero) Tbk. Inalum yang 100 persen sahamnya dimiliki pemerintah ditunjuk sebagai perusahaan induk BUMN pertambangan.
Pembentukan perusahaan induk ini selalu dikaitkan dengan rencana pembelian saham PT Freeport Indonesia, perusahaan tambang asal Amerika Serikat yang beroperasi di Papua. Freeport diwajibkan melepas sebagian saham sampai 51 persen kepada peserta Indonesia. Saat ini saham pemerintah di Freeport hanya 9,36 persen. Namun, belum ada kejelasan perkembangan divestasi tersebut.
(APO)