Distribusi Diawasi Bersama
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah daerah diminta terlibat dalam distribusi bahan bakar minyak satu harga untuk mencegah penyalahgunaan. Sejauh ini Program BBM Satu Harga sudah menjangkau 31 lokasi terpencil di seluruh Indonesia. Sampai 2019, 150 lokasi ditargetkan menjadi sasaran program ini.
Daerah ke-31 yang menjadi sasaran Program BBM Satu Harga adalah Distrik Sausapor, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat. Lokasinya 150 kilometer dari Sorong, ibu kota Papua Barat. Sebelumnya, harga solar dan premium di tingkat pengecer di distrik itu berkisar Rp 15.000-Rp 20.000 per liter.
"Pemerintah daerah harus mengawasi dengan baik pendistribusian BBM satu harga ini. Harus dipastikan penjualannya benar-benar sampai ke pembeli akhir. Jangan sampai ada pembeli dari jauh datang ke SPBU, tetapi tidak kebagian karena habis diborong pengecer," kata Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Fanshurullah Asa saat dihubungi, Minggu (26/11), di Jakarta.
Program BBM satu harga diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 36 Tahun 2016. Jenis BBM yang diatur adalah solar bersubsidi dan premium. Program ini bertujuan menyamakan harga BBM di wilayah terpencil, terluar, dan terdepan dengan harga resmi yang ditetapkan pemerintah saat ini. Harga solar bersubsidi ditetapkan Rp 5.150 per liter dan premium Rp 6.450 per liter.
Agar BBM tidak habis diborong pengecer, lanjut Fanshurullah, pihaknya mengimbau pemerintah daerah yang lokasinya menjadi sasaran program untuk menerbitkan kartu identitas khusus. Kartu menjadi penanda bahwa konsumen pemegang kartu telah membeli BBM dengan jumlah tertentu. Pengawasan di SPBU disarankan melibatkan aparat kepolisian.
Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Kementerian ESDM Harya Adithyawarman mengatakan, realisasi program BBM satu harga akan semakin lancar jika ada kerja sama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan PT Pertamina (Persero) selaku badan usaha yang ditunjuk melaksanakan program BBM satu harga, serta BPH Migas.
"Tanpa ada kerja sama, sulit sekali mewujudkan Program BBM Satu Harga. Keadilan harga BBM di seluruh wilayah Indonesia harus terus diwujudkan. Harga BBM (premium dan solar) harus sama di seluruh wilayah," ujar Harya.
Sebelumnya, anggota Komite BPH Migas Muhammad Ibnu Fajar menuturkan, ada ganjalan perizinan di daerah dalam program ini, seperti izin prinsip, izin mendirikan bangunan, dan izinizin pada umumnya untuk mendirikan bangunan. Saat ada kesulitan perolehan izin, lanjut dia, BPH Migas langsung berkoordinasi dengan kepala daerah setempat agar izin bisa segera terbit.
"Kami optimistis sampai akhir 2017 dapat terealisasi keseluruhan 54 titik tersebut. Secara fisik, SPBU yang dibangun tidak seperti yang ada di kota besar. Ini ukurannya kecil dan seharusnya pembangunannya tidak butuh waktu lama," kata Ibnu.
Konsumen akhir
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengingatkan, pemerintah harus tegas menindak pengecer (penjual tak resmi) yang menjual BBM jauh lebih mahal di lokasi-lokasi pelaksanaan BBM satu harga. Sasaran program BBM satu harga harus benar-benar tercapai di tingkat konsumen paling akhir.
Pemerintah menunjuk Pertamina sebagai pelaksana Program BBM Satu Harga di Indonesia. Pertamina bisa menggandeng pihak ketiga dalam program ini, khususnya dalam pembangunan agen penyalur resmi. Sampai 2019, Program BBM Satu Harga ditargetkan beroperasi di 150 daerah, khususnya di wilayah terpencil, terluar, dan terdepan.
Konsekuensi dari penunjukan tersebut adalah Pertamina harus menanggung ongkos pendistribusian BBM satu harga. Untuk wilayah Papua dan Kalimantan Utara saja, ongkos distribusi BBM dalam program ini yang ditanggung Pertamina sekitar Rp 800 miliar per tahun.
Ongkos distribusi itu disebut-sebut menggerus laba Pertamina, selain faktor penetapan harga jual premium dan solar bersubsidi di bawah harga keekonomian. (APO)