Inisiatif-inisiatif Menteri Susi yang Membuka Mata Dunia
Tiga tahun menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti tidak hanya mereformasi total tata kelola perikanan di dalam negeri, tetapi juga membuka mata dunia bagaimana pemerintah suatu negara menerapkan kebijakan perikanan yang berbasis kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan.
Sejak 2014, satu per satu kebijakan yang dikeluarkan Menteri Susi menjadi rujukan dunia internasional dalam pengelolaan sektor perikanan.
Salah satu kebijakan Susi yang paling fenomenal adalah upayanya dalam memberantas illegal fishing yang begitu marak di Indonesia.
Selama bertahun-tahun, ribuan kapal ikan dari Vietnam, Thailand, dan China masuk-keluar dengan bebas ke perairan zona ekonomi ekslusif (ZEE) Indonesia.
Kapal-kapal itu berpesta pora mencuri ikan hingga merugikan negara triliunan rupiah setiap tahunnya. Yang lebih tragis, nelayan-nelayan lokal terpinggirkan karena tak kebagian ikan.
Melihat kondisi tersebut, Susi langsung menyatakan perang dengan praktik illegal fishing di seluruh perairan Indonesia.
Dengan dukungan penuh Presiden Joko Widodo, Susi dan jajarannya pun melakukan gebrakan besar.
Praktik illegal fishing bukan sekadar pencurian ikan biasa. Praktik itu erat kaitannya dengan megakongkalikong yang melibatkan pejabat, birokrat, dan pengusaha kakap di negeri ini. Maklum, belum banyak yang tahu bahwa laut menyimpan kekayaan begitu besar. Dengan kongkalikong, kekayaan itu bisa dikeruk dengan membabi buta secara ilegal.
Ironisnya, mereka semua hanya proksi asing. Hampir semua kapal illegal fishing yang mereka backing merupakan kapal yang dimiliki dan dikendalikan pihak asing. Jadi, asinglah yang paling menikmati kekayaan laut Indonesia.
Berpuluh-puluh tahun, tak ada yang mampu menghancurkan tembok tebal mafia perikanan di laut. Instansi-instansi pengawas perairan bukannya tak pernah menangkap kapal illegal fishing. Namun, kapal-kapal itu terpaksa dilepaskan kembali karena tiba-tiba ada pejabat yang mengintervensi proses hukumnya.
Susi datang dengan misi menghancurkan tembok tebal itu. Dengan keberanian, nasionalisme, konsistensi, dan keteguhannya, Menteri Susi pun melakukan hal-hal yang kemudian dianggap ajaib oleh banyak orang.
Di bawah komandonya, aparat sipil dan militer kompak bahu-membahu dan bekerja keras mengejar dan menangkap kapal illegal fishing.
Para duta besar negara yang nelayannya banyak melakukan illegal fishing dikumpulkannya. Kepada mereka, Susi mengingatkan, mulai saat ini, pemerintah akan menegakkan hukum di laut. Para duta besar itu diminta menginformasikan kepada para nelayan di negaranya masing-masing untuk tidak lagi mencuri ikan di perairan Indonesia.
Jika masih ada nelayan asing yang nekat mencuri ikan di perairan Indonesia, Susi menegaskan, pihaknya tak akan ragu-ragu menangkap dan menenggelamkan kapalnya.
Susi juga menemui para pengusaha kakap yang disebut-sebut sebagai mafia perikanan. Susi meminta mereka untuk tidak lagi melakukan illegal fishing dan mengajak mereka mengikuti kebijakan pemerintah saat ini.
Jika masih melakukan illegal fishing, berarti mereka melawan kebijakan pemerintah dan akan berhadapan dengan hukum.
Berkat diplomasi dan bujukannya, semua akhirnya menurut. Para duta besar tak mendebat. Para mafia perikanan berjanji akan menghentikan praktik illegal fishing-nya.
Susi tak asal gertak. Ia membuktikan kata-katanya. Kapal illegal fishing yang tertangkap tangan diledakkan dan ditenggelamkan. Kini sudah 317 kapal illegal fishing ditenggelamkan.
Cerita penenggelaman kapal yang dilakukan Pemerintah Indonesia pun bergema ke seluruh dunia. Para pelaku illegal fishing di seluruh dunia bergidik. Mereka tak menyangka Indonesia benar-benar berani menenggelamkan kapal.
Perairan Indonesia menjadi salah satu yang paling ditakuti. Kendati demikian, dunia tidak marah kepada Indonesia. Mereka justru respek dengan apa yang dilakukan Menteri Susi. Sebab, memang seperti itulah tugas pemerintah yang benar, melakukan pengaturan di laut demi kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan sektor perikanan.
Kini, Indonesia menikmati hasilnya. Ribuan kapal illegal fishing lenyap dari perairan Indonesia. Kapal pencuri ikan memang masih ada dan niscaya akan tetap ada, tetapi tak banyak lagi sehingga mudah dilumpuhkan.
Sektor perikanan Indonesia seketika menjadi terang benderang, tak lagi hitam bagai rimba belantara seperti dulu. Kekayaan laut yang dulu dinikmati pihak asing kini dinikmati nelayan dan pengusaha perikanan nasional.
Produk domestik bruto sektor perikanan meningkat seiring naiknya tangkapan nelayan dan menggeliatnya bisnis perikanan. Hampir seluruh parameter sektor perikanan membaik sejak diberantasnya kapal-kapal illegal fishing. Penerimaan negara dari pajak dan pendapatan negara bukan pajak dari sektor perikanan pun meningkat.
Tak hanya mendorong kemajuan sektor perikanan, kebijakan Susi juga menyelamatkan kekayaan triliunan rupiah dari potensi kerugian akibat illegal fishing. Belum lagi penyelamatan keuangan negara triliunan rupiah akibat kerugian dari bahan bakar minyak yang dipakai oleh kapal-kapal illegal fishing.
Menegakkan HAM
Susi tidak berhenti pada inisiatif pemberantasan illegal fishing dan praktik pengelolaan perikanan yang berbasis pada kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejakteraan.
Lebih dari itu, Susi juga memelopori inisiatif pengelolaan perikanan yang berbasis pada hak asasi manusia (HAM).
Inisiatif ini didasari sejumlah peristiwa pelanggaran HAM yang dilakukan sejumlah perusahaan perikanan yang beroperasi di Avona, Wanam, Benjina, Ambon, dan Timika. Kasus-kasus ini terkait dengan perbudakan dan perdagangan orang.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan, jumlah korban perdagangan orang di Benjina, Ambon, dan Wanam mencapai 1.152 korban. Korban berasal dari Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja, dan Vietnam.
Menteri Susi bersama Satuan Tugas (Satgas) 115 yang dibentuk Presiden Joko Widodo untuk memberantas illegal fishing bergerak cepat menyelesaikan persoalan tersebut.
Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan International Organization for Migration dengan segera memulangkan semua korban ke negara masing-masing.
Satgas 115 juga telah membantu para korban mendapatkan pembayaran atas gaji mereka yang tidak dibayarkan perusahaan senilai total 900.000 dollar AS.
Untuk mencegah pelanggaran HAM terulang di sektor perikanan, Menteri Susi menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35/PERMEN-KP/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan.
Permen tersebut mewajibkan industri perikanan harus memenuhi kondisi kerja yang adil dan layak bagi pekerja, antara lain hak untuk remunerasi dan waktu istirahat yang cukup dan layak, standar hidup layak, termasuk akomodasi, makan dan minum, mendapatkan pengobatan, mendapatkan asuransi jaminan sosial, mendapatkan perlindungan dari risiko kerja, dan hak khusus wanita, anak, dan penyandang disabilitas.
Pengusaha perikanan juga wajib menghindari terjadinya kerja paksa dalam bentuk penyalahgunaan kerentanan, penipuan, pembatasan ruang gerak, pengasingan, kekerasan fisik dan seksual, intimidasi dan ancaman, penahanan dokumen identitas, penahanan upah, jeratan utang, kondisi kerja dan kehidupan yang menyiksa, dan kerja lembur yang berlebihan.
Aturan sertifikasi HAM untuk perusahaan perikanan ini, menurut Koordinator Penasihat Khusus Satgas 115 Mas Achmad Santosa, menjadi yang pertama di dunia. Belum ada negara lain yang mengeluarkan kebijakan serupa.
Atas segala kiprahnya tersebut, Susi diminta untuk berbagi pengalaman dalam Forum Tahunan tentang Bisnis dan HAM di Kantor PBB di Geneva, 27-29 November 2017.
Susi akan menjadi salah satu panelis dalam sesi pleno pembukaan dan memaparkan Peraturan Menteri KP No 35/2015 tentang Sertifikasi HAM pada Industri Perikanan sebagai best practice dalam praktik bisnis yang berperspektif HAM.
Ia menjadi salah satu di antara lima pemimpin perempuan global inspiratif lain yang juga diundang untuk menjadi panelis pada sesi ini, antara lain Direktur Eksekutif Oxfam Internasional dan Global VP Unilever, mewakili kalangan NGO dan sektor Bisnis.
Annual UN Forum on Business and Human Rights merupakan sidang tahunan PBB membahas perkembangan dan tantangan yang dihadapi dalam implementasi UN Guiding Principles oleh banyak negara serta untuk memperkuat hubungan bisnis dan HAM melalui kerja sama dan dialog.