Jakarta, Kompas — Kementerian Pertanian dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama memperluas kerja sama bidang pertanian. Setelah di Bengkulu Selatan dinilai sukses, kerja sama pengembangan produk pertanian diperluas di sembilan kabupaten di tiga provinsi.
Nota kesepahaman kerja sama ditandatangani Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj di kantor Kementerian Pertanian di Ragunan, Jakarta Selatan, Kamis (30/11). Pertemuan dihadiri, antara lain, pejabat eselon I dan II Kementerian Pertanian, perwakilan PBNU, serta bupati atau wakil dari sembilan kabupaten sasaran kerja sama.
Sembilan kabupaten itu, tujuh di antaranya di Provinsi Bengkulu, yakni Bengkulu Selatan, Bengkulu Utara, Kaur, Seluma, Mukomuko, Kepahiang, dan Rejang Lebong, serta di Penajam Paser Utara (Kalimantan Timur) dan Ogan Komering Ilir (Sumatera Selatan). Kerja sama menargetkan penanaman jagung di lahan seluas 100.000 hektar.
PBNU dan pemerintah daerah akan mengidentifikasi lahan untuk penanaman. Sementara Kementerian Pertanian akan menyediakan kebutuhan sarana produksi, khususnya benih dan pupuk, serta beberapa alat mesin pertanian seperti traktor, ekskavator, dan pompa. Bantuan mesin pertanian diberikan sesuai kebutuhan daerah setempat.
Selain meningkatkan kesejahteraan warga, kerja sama diharapkan dapat mengoptimalkan produktivitas lahan sekaligus produksi pangan. Sesuai nota kesepahaman, kontrak kerja sama akan berlaku tiga tahun sejak 30 November 2017. Namun, perluasan area dimungkinkan jika beberapa model kemitraan tersebut dianggap berhasil.
Amran meyatakan, dengan anggota lebih dari 91 juta orang dan 80 persen di antaranya adalah petani, Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi kemasyarakatan yang strategis untuk pengembangan pertanian. ”Mimpi besar pemerintah adalah membunuh kemiskinan. Saya yakin, jika NU ikut bergerak, persoalan pertanian bisa selesai,” ujarnya.
Ketimpangan
Kerja sama serupa dilakukan Kementerian Pertanian dan PBNU di Bengkulu Selatan sejak Juni 2017. Targetnya menanami 10.000 hektar lahan-lahan tidur dan kurang produktif dengan jagung. Hasilnya dianggap sukses. Produktivitas mencapai 5-7 ton per hektar dan warga memperoleh pendapatan setidaknya Rp 15 juta per hektar.
Said berpendapat, pembangunan sektor pertanian sejak puluhan tahun lalu belum sukses mengangkat kesejahteraan petani. ”Terkadang, jika hasil panennya impas (dengan modal) saja sudah dianggap untung, tenaganya kadang tak dihitung. Padahal, mereka setiap hari ke sawah, tahan banting menyediakan pangan,” ujarnya.
Sayangnya, sering kali keuntungan lebih besar dinikmati pelaku di rantai distribusi. Said mencontohkan, harga bawang merah yang di tingkat petani di Brebes dan Cirebon Rp 8.000 per kilogram (kg), tetapi di pasar-pasar Jakarta sampai Rp 30.000 per kg. Petani brokoli hanya mendapat Rp 1.000 per kg ketika di Jakarta harganya Rp 14.000 per kg.
Soal kepemilikan lahan juga dianggap timpang. Menurut Said, mayoritas petani yang mengusahakan pangan berlahan sempit atau bahkan sekadar penggarap, sementara konglomerasi menguasai jutaan hektar lahan. Oleh karena itu, pihaknya berharap program redistribusi lahan terealisasi sehingga mengangkat derajat kehidupan banyak petani.
”Pelaksanaan sila kelima Pancasila (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia) masih jauh. Zulkifli, Madrais, Jumadi, dan banyak petani tak punya sawah, sementara beberapa pengusaha punya jutaan hektar. Oleh karena itu, salah satu rekomendasi Musyawarah Nasional NU (di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, yang ditutup Sabtu 25/11) merekomendasikan pemerintah terus mengawal agenda redistribusi lahan untuk rakyat,” ujarnya.
Said menyambut baik kerja sama NU dengan Kementerian Pertanian. Dengan anggota yang sebagian besar adalah petani, NU sangat berkepentingan memajukan sektor pertanian sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.