Perlu Fokus pada Energi Terbarukan
JAKARTA, KOMPAS — Seiring bertambahnya populasi penduduk, kebutuhan energi akan terus meningkat. Untuk itu, Indonesia perlu fokus pada pengembangan energi terbarukan yang potensinya melimpah di dalam negeri agar ketergantungan terhadap energi fosil berkurang.
Wakil presiden ke-11 RI Boediono mengingatkan pentingnya fokus pada pengembangan energi terbarukan tersebut pada acara International Energy Conference 2017 yang berlangsung di Jakarta, Kamis (30/11).
Pengembangan energi terbarukan juga akan sejalan dengan kesepakatan pengurangan efek gas rumah kaca. Indonesia merupakan salah satu negara yang telah menandatangani kesepakatan tersebut.
Selain Boediono yang menjadi pembicara kunci dalam acara tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan juga memberikan pidato pembukaan. Sejumlah pakar energi dari dalam dan luar negeri turut hadir pada pertemuan tersebut.
”Konsumsi energi global diperkirakan akan naik 28 persen pada 2040 seiring dengan bertambahnya populasi dunia. Di satu sisi, ada kesepakatan pengurangan efek gas rumah kaca untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Oleh karena itu, Indonesia perlu energi alternatif lewat pengembangan energi terbarukan,” kata Boediono.
Boediono mengatakan, seiring dengan pesatnya perkembangan pemanfaatan energi terbarukan di dunia, teknologi di bidang energi terbarukan bukan lagi menjadi masalah. Yang dibutuhkan sekarang adalah komitmen global dan regional dalam pengembangan energi terbarukan, termasuk komitmen pengurangan efek gas rumah kaca. Di Indonesia, kebijakan yang mendukung industri pengembangan energi terbarukan pun sangat diperlukan.
”Beberapa potensi energi terbarukan yang dapat dikembangkan di Indonesia adalah tenaga panas bumi, hidro, atau tenaga surya,” ucap Boediono.
Sementara itu, Jonan mengatakan, berbagai langkah strategis diambil untuk mempercepat pemanfaatan energi terbarukan yang ramah lingkungan di Indonesia. Ia mengatakan, energi terbarukan akan lebih berdaya saing dalam hal harga dengan energi fosil dalam waktu-waktu mendatang. Apalagi, teknologi di bidang energi terbarukan terus berkembang pesat dan menjadi semakin efisien.
”Saat ini sedang dibangun pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) Sidrap di Sulawesi Selatan dengan kapasitas 75 megawatt. Harga jual tenaga listriknya 11,4 sen dollar AS per kilowatt jam (kWh). Tahap kedua pembangkit ini direncanakan dibangun dengan kapasitas 50 megawatt dengan harga lebih murah, yaitu 6 sen dollar AS per kWh," ujar Jonan.
Selain tenaga bayu, lanjut Jonan, pemerintah sedang mengembangkan pembangkit listrik tenaga arus laut di Larantuka, Nusa Tenggara Timur. Kapasitas potensial pembangkit bertenaga arus laut ini mencapai 20 MW. Harga jual tenaga listrik dari pembangkit tersebut juga tergolong kompetitif, yakni 7,19 sen dollar AS per kWh.
Kebijakan pengembangan energi terbarukan di Indonesia, imbuh Jonan, didasarkan pada potensi lokal di setiap wilayah. ”Kami juga mendorong pemanfaatan tenaga listrik untuk kendaraan dan untuk kompor sebagai pengganti elpiji yang sebagian besar diimpor. Kompor listrik lebih bersih dan efisien,” kata Jonan.
Perlu insentif
Mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Armida Alisjahbana, yang turut menjadi salah satu pembicara konferensi, menambahkan, untuk mendorong pengembangan energi terbarukan di Indonesia, perlu diupayakan adanya dukungan kebijakan berupa insentif fiskal.
Selain insentif, salah satu kunci agar energi terbarukan berkembang adalah soal tarif jual beli yang menarik. Pemanfaatan teknologi yang tepat guna juga dibutuhkan agar energi terbarukan kian efisien dan terjangkau masyarakat.
Pada Kebijakan Energi Nasional, energi terbarukan ditargetkan berkontribusi 23 persen pada 2025 dalam bauran energi nasional. Angka tersebut setara dengan keberadaan pembangkit listrik energi terbarukan berkapasitas 45.000 MW.
Saat ini, dari 440.000 MW potensi energi terbarukan di Indonesia, pemanfaatannya masih kurang dari 10.000 MW. (APO)