JAKARTA, KOMPAS — Ketersediaan tenaga kerja kompeten di industri aplikasi dan gim masih jadi persoalan. Pemerintah berusaha mengatasi permasalahan itu dengan membangun ruang pembinaan kewirausahaan dan memfasilitasi mentor.
Deputi Infrastruktur Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Hari S Sungkari saat dihubungi, Minggu (3/12), di Jakarta, mencontohkan program Bekraf for Pre-Start Up yang kini memasuki tahun kedua. Program ini membekali calon pendiri perusahaan dengan keterampilan sehingga bisa meminimalkan risiko gagal pada tahap awal. Total peserta program ini mencapai 3.000 orang.
Untuk membangun jaringan pengembang kompeten aplikasi atau gim, Bekraf menyelenggarakan Bekraf Developer Day di delapan kota besar, antara lain Surakarta, Surabaya, dan Balikpapan, pada 2017. Sepanjang tahun ini, 15 perusahaan rintisan digital memperoleh dana hibah dari Bekraf. Sejumlah 93 mentor bergabung untuk memberi pelatihan ini.
”Fokus kami sebenarnya menguatkan ekosistem industri aplikasi dan gim setiap tahun. Sasaran kerjanya tidak hanya menyangkut dukungan suplai tenaga kerja kompeten, tetapi juga memfasilitasi akses permodalan, pengajuan hak kekayaan intelektual, dan pemasaran produk sampai ke tingkat internasional,” ujar Hari.
Secara terpisah, Co-Founder Dicoding dan Ketua Umum Asosiasi Game Indonesia Narenda Wicaksono menyebutkan, ada sepuluh permasalahan yang dialami pelaku industri aplikasi dan gim nasional. Permasalahan ini meliputi promosi, permodalan, infrastruktur riset pasar, dukungan terhadap ekosistem industri teknologi, peningkatan pangsa pasar produk lokal, inkubator, dan regulasi perizinan. Selain itu, juga ada masalah dukungan terhadap ruang inovasi, kesiapan institusi pendidikan, dan peraturan aplikasi bawaan.
Menurut Narendra, beberapa masalah sudah ditindaklanjuti pemerintah. Terkait soal permodalan, misalnya, pemerintah rutin melakukan kegiatan edukasi kepada pengembang aplikasi dan gim mengenai cara kerja investasi, negosiasi dengan investor, serta membangun bisnis yang berkelanjutan.
Persoalan lain, yakni dukungan terhadap ekosistem industri teknologi, juga sudah diatasi. Pemerintah sudah mendorong perusahaan internasional membangun pusat riset dan pengembangan di Indonesia, dengan syarat menggunakan tenaga kerja lokal, pengembang lokal, dan transfer ilmu.
Terkait soal talenta kompeten, lanjut Narenda, pemerintah juga ikut serta memfasilitasi inkubasi dan ruang inovasi. Namun,itu saja tidak cukup. Pemerintah dipandang perlu memprioritaskan suplai tenaga kerja berkualitas jika ingin tercipta industri aplikasi dan gim berkelanjutan. Hal ini antara lain melalui restrukturisasi kurikulum pendidikan.
”Produsen aplikasi dan gim di Indonesia masih terpusat,seperti Yogyakarta, Surabaya, Bandung, dan Jakarta. Volume produksi juga belum konsisten tumbuh positif setiap tahun. Riset pasar yang di dalamnya mencakup pemetaan potensi tiap daerah sudah saatnya dibuat,” katanya.
Associate Market Analyst International Data Corporation (IDC) Indonesia Risky Febrian berpendapat, pemerintah telah berusaha menstimulasi agar pengembang aplikasi atau gim lokal lebih mudah berkembang. Upayanya melalui kebijakan tingkat kandungan dalam negeri ponsel pintar 4G LTE. Dalam kebijakan ini, aplikasi atau gim lokal bisa ditanamkan langsung di ponsel dengan syarat memiliki minimal 50.000 pengguna aktif. (MED)