PALEMBANG, KOMPAS — Penggunaan karet sebagai bahan baku pembuatan aspal terus didorong untuk mendongkrak harga karet di tingkat petani yang dalam tiga tahun terakhir terpuruk. Selama ini, sekitar 70 persen produksi karet dunia dialokasikan untuk kebutuhan produksi ban.
Pada saat kondisi perekonomian global turun, permintaan karet berkurang, harga karet pun anjlok. Pada 2011, harga karet Rp 20.000 per kilogram (kg). Namun, saat ini harga di tingkat petani hanya Rp 4.000 per kg.
Direktur Pusat Penelitian Karet Karyudi, Senin (4/12), di Palembang, Sumatera Selatan, mengatakan, penyerapan karet dalam negeri harus ditingkatkan agar harganya tak lagi terpuruk ”Saat ini kami sedang mengembangkan penggunaan karet untuk bahan baku aspal,” ujarnya.
Saat ini kami sedang mengembangkan penggunaan karet untuk bahan baku aspal.
Berdasarkan penelitian, ujar Karyudi, kebutuhan aspal di Indonesia 1,6 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, sekitar 5-7 persen di antaranya dapat menggunakan karet. Artinya, dengan teknologi aspal berbahan baku karet, ada 80.000-112.000 kg karet mentah yang akan terserap.
Indonesia sudah menerapkan aspal karet di beberapa ruas jalan di Jawa Barat, seperti di Lido, Sukabumi, sepanjang 2 kilometer (km), di Sawangan, Depok, sepanjang 600 meter, dan di Karawang sepanjang 500 meter.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Dedi Junaedi mengatakan, dari 3,6 juta hektar perkebunan karet di Indonesia, sekitar 85 persen di antaranya merupakan perkebunan rakyat. Karet yang dihasilkan 3,1 juta ton per tahun. Pemerintah berupaya meningkatkan produktivitas perkebunan.
Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia Sumsel Alex K Eddy, menyambut baik rencana menjadikan karet sebagai campuran aspal.
Terpuruk
Sementara itu, perekonomian masyarakat di Kepulauan Nias, Sumatera Utara, terpuruk dalam beberapa tahun terakhir akibat harga getah karet yang anjlok dari Rp 20.000 menjadi Rp 5.000 per kg. Petani meninggalkan kebun dan menjadi buruh di luar Nias karena karet tidak bisa lagi menghidupi mereka.
Pemantauan Kompas di sejumlah desa di Kepulauan Nias, Senin, banyak kebun karet terbengkalai dan tidak disadap lagi. Selama ini, sekitar 70 persen masyarakat Nias bertani karet.
Antonius Elifati Waruwu (42), petani karet di Desa Oladano, Kecamatan Idanogawo, Kabupaten Nias, mengatakan, dalam setahun terakhir, ia hanya sesekali menyadap karet. Ia lebih sering menjadi buruh dengan upah Rp 70.000 per hari. ”Sejak harga karet turun, kami tidak semangat lagi pergi ke kebun,” katanya.
Bupati Nias Sokhiatulo Laoli mengatakan, jika rencana pungutan ekspor diterapkan, beban petani semakin besar. (RAM/NSA)