Wajah Baru Harco Glodok
Di tengah terpaan lesunya pusat perbelanjaan dan ritel akibat tren belanja lewat daring, Harco Glodok yang ditutup sejak 2013 kini ancang-ancang kembali dibuka. Pusat elektronik yang pernah berjaya di era 1980-1990-an itu bertekad tampil dengan format baru.
Di masa lalu, Harco Glodok sibuk dengan kegiatan perdagangan eceran. Sebagian besar kios diisi produk elektronik, audio, video permainan, hingga DVD dan VCD bajakan. Pusat elektronik tradisional legendaris itu sempat mengalami masa jatuh bangun.
Setelah sebagian bangunan dilalap api pada Agustus 2012 dan konstruksi bangunan lantai tiga runtuh pada 2013, bangunan yang berdiri di era 1970-an itu akhirnya ditutup. Ratusan pedagang pindah menyebar ke sejumlah lokasi.
Pada 2013, Harco Glodok diakuisisi oleh Agung Podomoro Land (APL) untuk direvitalisasi. Kini, proses renovasi nyaris rampung. Beberapa perubahan terjadi di pertokoan di areal seluas 1 hektar itu. Bangunan pertokoan yang dulu setinggi tiga lantai itu kini menjadi enam lantai berisi total 2.300 kios. Ruang pertokoan dengan luas kios mulai tujuh meter persegi hingga 100 meter persegi itu dibuat lebih variatif dengan masuknya pedagang teknik, listrik, dan bahan-bahan bangunan.
”Nantinya, peruntukan masih akan didominasi pedagang elektronik yang mengisi empat lantai, sedangkan dua lantai lain untuk toko alat-alat teknik dan bahan bangunan,” kata General Manager Marketing Harco Glodok Aries Haryadi Sandi.
Berbeda dengan sebelumnya, sistem sewa kios atau gerai ditiadakan. Seluruh kios di Harco Glodok dijual untuk dimiliki perseorangan dan hanya beberapa kios disewakan secara terbatas. Selain itu, tampilan baru juga terlihat pada bangunan apartemen setinggi empat lantai yang menjulang di atas bangunan pusat perdagangan.
Meski tampil beda, peresmian wajah baru Harco Glodok yang semula dijadwalkan pada Oktober 2017 diundur menjadi awal 2018. Menurut Aries, saat ini baru sekitar 60 persen kios terisi pedagang. Sebagian di antaranya pedagang lama eks Harco Glodok.
Aries mengakui, muncul tantangan baru bagi pusat ritel di era belanja digital (e-dagang). ”Yang paling terkena dampak e-dagang adalah produk elektronik walau tidak semua belanja produk elektronik lewat daring. Pusat perbelanjaan mau tidak mau beradaptasi dengan alur perubahan zaman,” katanya.
Penjualan produk yang masih bisa bertahan dengan pola konvensional antara lain produk audio, seperti sound system, set peralatan lengkap karaoke dan home theatre yang nilai transaksinya mencapai ratusan juta rupiah. Untuk produk-produk bernilai tinggi ini, orang masih perlu datang untuk memastikan kondisi barang.
Namun, tantangan sudah terasa dengan banyaknya pusat ritel elektronik yang modern di seputaran Glodok. Dalam radius 500 meter dari Harco Glodok berdiri megah pusat perbelanjaan modern Lindeteves Trade Center (LTC), Orion, dan Glodok Plaza. Kini, tantangan makin besar dengan tren e-dagang yang tidak hanya menjadi pesaing bagi pasar ritel tradisional, tetapi juga pusat ritel dan perbelanjaan modern.
Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia Ferry Salanto mengemukakan, kondisi pusat perbelanjaan di Jakarta saat ini terus melemah. Per triwulan III (Juli-September) 2017, tingkat okupansi ritel hanya sekitar 83,8 persen atau terendah dalam tujuh tahun terakhir. Hal tersebut dipicu oleh pelemahan daya beli masyarakat dan pergeseran pola belanja.
Tingkat okupansi ritel tidak lagi cukup untuk menjamin performa pusat perbelanjaan. Kerap terjadi, tingginya keterisian gerai di pusat ritel tak diimbangi oleh tingkat kunjungan dan transaksi pembelanjaan yang signifikan. ”Ini saling terkait. Sekalipun tingkat okupansi ritel tinggi, jika penjualan sepi, penyewa gerai akan kesulitan bayar sewa. Pada akhirnya, okupansi akan turun dan pusat ritel terkena dampak,” ujarnya.
Kelesuan pasar juga mulai terasa di pusat perdagangan dengan kios atau toko-toko yang dimiliki perseorangan (strata title). Pengelolaan yang ikut terabaikan di beberapa pusat perdagangan membuat gedung pertokoan tidak terawat. Hadirnya wajah baru pusat ritel dinilai perlu didukung dengan inovasi dan fleksibilitas.
Wadah ”online”’
Menurut Aries, bisnis e-dagang merupakan tren pasar yang tengah diadopsi. Bermodal pengelolaan APL untuk LTC, Plaza Kenari Mas, dan Harco Glodok dengan kemiripan produk yang ditawarkan—meliputi elektronik, peralatan teknik, dan bahan bangunan—pihaknya tengah menggarap kanal e-dagang bagi pedagang ritel yang jumlahnya mencapai 6.000 pedagang.
”Kalau kami enggak lakukan (e-dagang), akan digarap oleh penyedia jasa lain. Sejumlah pedagang saat ini juga sudah memasarkan produk secara daring. Nantinya, seluruh pemasaran produk lewat daring akan dikumpulkan dalam satu kanal ini,” katanya.
Model bisnis e-dagang untuk pedagang ritel di tiga pusat perdagangan tersebut menurut rencana dirilis pada pertengahan 2018. ”Prinsipnya, harga barang yang dijual lewat daring ataupun konvensional tetap sama,” kata Aries.
Selain membuka kanal e-dagang, upaya jemput bola akan dilakukan antara lain dengan menggelar undian berhadiah langsung bagi pengunjung toko. ”Hal itu tidak akan bisa didapatkan dari belanja daring,” ujarnya.
Ong Kian Han, pemilik supermarket bahan bangunan dan depo listrik di LTC Glodok, mengungkapkan, dalam kurun dua tahun terakhir dirinya sudah masuk ke model penjualan secara daring dengan peningkatan transaksi yang signifikan.
Menurut dia, pembelanjaan secara daring memberikan beberapa keuntungan bagi pembeli, seperti pembayaran yang bisa dicicil dan promosi lain. Namun, untuk produk yang spesifik, calon pembeli sering kali lebih puas jika melihat langsung kondisi barang sebelum melakukan transaksi. Konsumen juga kerap menanyakan alamat kantor guna memastikan bahwa penjual betul ada. Ini mendorong pembeli untuk datang langsung ke kios.
Namun, untuk produk yang spesifik, calon pembeli sering kali lebih puas jika melihat langsung kondisi barang sebelum melakukan transaksi.
”Penjualan berbasis daring dan konvensional saling mendukung. Kalau kami tidak mempersiapkan diri untuk perubahan, kami akan tergerus,” kata Ong Kian Hian, yang juga buka kios di Harco Glodok.
Djoseph Sumina, pedagang audio dan elektronik, pernah menempati Harco Glodok pada era 2000-an hingga akhirnya bangunan tua itu ditutup untuk renovasi. Ia mengenang Harco Glodok sebagai toko yang ramai sejak pagi.
Pusat ritel itu memiliki daya tarik besar hingga ke mancanegara karena menyediakan beragam peralatan elektronik, suku cadang, hingga peralatan teknik yang lengkap. ”Dulu, transaksi sibuk walau hanya menunggu pembeli datang. Orang rela menunggu sebelum toko dibuka untuk berburu beragam barang,” kata Djoseph, yang beberapa tahun ini pindah berdagang ke Glodok Plaza.
Djoseph mengakui, tren pasar ritel telah berubah. Konsumen lebih ingin kepraktisan, tidak perlu datang untuk mencari barang jika tidak mendesak. Namun, ia optimistis sewaktu memesan 10 kios di Harco Glodok. ”Harco Glodok nama legendaris dan diharapkan bisa kembali berjaya sebagai pusat ritel,” katanya.
Ia berharap pusat ritel itu bisa menerapkan pola kreatif untuk menjaring konsumen. ”Kanal belanja daring hanya salah satunya,” kata Djoseph sambil menambahkan, pameran elektronik perlu digelar di pusat ritel untuk menarik pengunjung. (BM Lukita Grahadyarini)