Peran intermediasi perbankan sedang melambat. Bank Indonesia mencatat, per September 2017 kredit tumbuh 7,9 persen setahun. Pertumbuhan itu lebih rendah dari bulan sebelumnya sebesar 8,3 persen. Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan kredit hingga akhir tahun ini sebesar 8 persen atau tidak tembus dua angka.
Hal itu terjadi karena permintaan masih lemah. Banyak korporasi yang baru menyelesaikan konsolidasi dengan mengendalikan biaya dan memastikan neraca rugi laba lebih baik. Kondisi itu menyebabkan korporasi belum mengajukan permintaan kredit baru. Korporasi juga masih memperhatikan kondisi perekonomian dunia dan perbaikan harga komoditas.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga melambat pada triwulan III-2017, yaitu sebesar 4,93 persen karena pendapatan masyarakat kelas menengah ke bawah turun. Kondisi itu juga berpengaruh terhadap permintaan kredit. Adapun perbankan juga masih melakukan konsolidasi dengan mempertimbangkan kecenderungan kenaikan rasio kredit bermasalah (NPL). Kendati pada September lalu NPL gross sudah turun dari 3 persen menjadi 2,9 persen.
Selain beberapa hal di atas, perlu dicermati pula pertumbuhan alternatif pembiayaan di luar perbankan. Bisa jadi, sedikit demi sedikit pangsa pasar bank terimbas dari alternatif pembiayaan lain tersebut. Alternatif pembiayaan pinjam-meminjam antarpihak yang disalurkan perusahaan teknologi finansial (tekfin) tumbuh signifikan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, per September 2017 total pemberi pinjaman sebanyak 63.869 orang atau naik 344,68 persen dibandingkan posisi Januari 2017. Sementara total peminjam sebanyak 157.276 orang, meningkat 208,8 persen.
Akumulasi pendanaan per September 2017 sebanyak Rp 1,66 triliun atau meningkat 632,58 persen. Rasio pinjaman yang macet sangat rendah dibandingkan perbankan, yaitu 0,44 persen pada 2016 dan 0,84 persen pada 2017. Hingga September 2017, sudah 24 (16 lokal dan 8 asing) perusahaan pinjam- meminjam antarpihak telah terdaftar dan berizin di OJK. Adapun 31 perusahaan sedang dalam proses pendaftaran. Ini merupakan capaian signifikan sejak OJK mengeluarkan regulasi pada Desember 2016.
Alternatif pembiayaan lain adalah pembiayaan daerah yang untuk pembangunan infrastruktur publik dan sosial seperti yang disalurkan oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) atau SMI dengan bunga yang lebih kompetitif dan tanpa jaminan. Hingga 22 November 2017, SMI telah menyalurkan pembiayaan daerah Rp 8,918 triliun. Sebesar Rp 2,72 triliun merupakan pembiayaan debitor lama (21 daerah), Rp 5,8 miliar masih tahap penawaran (18 daerah), dan Rp 348 miliar tahap pemenuhan syarat efektif (1 daerah).
Potensi pemerintah daerah mendapatkan pinjaman daerah itu masih besar. Ruang pemerintah daerah untuk mengakses pinjaman daerah masih luas. Saat ini, realisasi defisit APBD dari pinjaman daerah masih sekitar 0,008 persen dari produk domestik bruto (PDB) dari batas maksimal 0,3 persen PDB. Sementara itu, dari 542 pemerintah kabupaten dan kota, sebanyak 450 kabupaten dan kota layak dibiayai. Potensi pembiayaan untuk 27 pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota di Papua dan Papua Barat saja, Rp 3,1 triliun-Rp 3,5 triliun.
Dengan skema pembiayaan daerah itu, perbankan nasional, khususnya milik negara dan pemerintah daerah, perlu berupaya lebih keras manjalankan fungsi intermediasinya. Berbagai lini, mulai dari perorangan, usaha mikro, kecil, dan menengah; properti, hingga infrastruktur, sudah disasar alternatif pembiayaan nonbank. Dengan likuiditas yang lebih besar ketimbang penyedia alternatif pembiayaan lain, perbankan masih kompetitif. Tinggal bagaimana mengefisienkan biaya operasional agar suku bunga semakin kompetitif dan memperkuat segmen-segmen andalan.