JAKARTA, KOMPAS — Otomatisasi industri menjadi tantangan bagi dunia kerja Indonesia ke depan. Penggunaan teknologi dan robot bisa mengurangi penyerapan tenaga kerja.
Otomatisasi dan penggunaan robot akan menjadi tantangan ke depan. ”Investor yang datang ke Indonesia sekarang banyak yang menguasai alat-alat yang lebih canggih, seperti otomotif, robot,” ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla seusai menyerahkan penghargaan Paramakarya untuk dunia usaha yang mampu meningkatkan produktivitasnya selama tiga tahun berturut-turut, Jumat (8/12), di Jakarta.
Penyerapan tenaga kerja relatif lesu pada 2017. Proyek infrastruktur yang kerap menampung banyak tenaga kerja, kini tak bisa diandalkan. Sekitar 87 persen proyek infrastruktur dikuasai pemain besar yang lebih mengutamakan penggunaan teknologi ketimbang menyerap tenaga kerja.
Penyerapan tenaga kerja tak lagi berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi. Bila tahun 2004, 1 persen pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 450.000 tenaga kerja. Namun, sejak 2012, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi hanya menyerap 200.000 tenaga kerja, Kompas (21/11).
Namun, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengatakan, dalam rencana pembangunan jangka menengah pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla ditargetkan penciptaan 10 juta lapangan kerja.
”Kami sudah beri laporan tiga tahun Jokowi-Kalla, penciptaan lapangan kerja lebih dari 2 jutaan per tahun,” ujarnya.
Kenyataannya, angka pengangguran terus bertambah. Pada Agustus 2017, jumlah pengangguran seperti diungkapkan Badan Pusat Statistik bertambah menjadi 7,04 juta, naik 10.000 dari periode sama di tahun sebelumnya. Jumlah pengangguran terbanyak adalah dari lulusan SMK, yakni 11,41 persen, akibat tak sesuainya kebutuhan pasar dengan pelajaran di SMK.
Menghadapi tantangan ini, menurut Kalla, peningkatan keterampilan tetap menjadi jawaban. Peluang tetap terbuka bagi tenaga kerja karena pasar Indonesia yang besar. Untuk meningkatkan keterampilan tersebut, pemerintah semestinya berperan dengan memperbaiki balai latihan kerja (BLK).
Menurut Hanif, ada BLK milik pemerintah pusat, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota. Setelah otonomi daerah, banyak BLK diserahkan kepada pemerintah daerah dan kemudian tertinggal. (INA)