Menunggu Penertiban
Di tengah usaha pemerintah menertibkan subsidi agar benar-benar tepat sasaran, hingga kini, pendistribusian gas 3 kilogram bersubsidi masih terbuka. Artinya, baik masyarakat kaya maupun miskin bisa membeli elpiji yang di masyarakat dikenal sebagai ”gas melon” tersebut.
Akar masalah soal elpiji adalah terdapat dua harga berbeda untuk satu komoditas yang sama. Menurut PT Pertamina (Persero), harga elpiji bersubsidi sekitar Rp 5.000 per kilogram, sedangkan elpiji nonsubsidi Rp 11.000 per kg sehingga ada selisih Rp 6.000 per kg. Harga yang lebih murah untuk komoditas yang sama memberi pilihan bagi konsumen yang secara alamiah akan membeli harga yang lebih murah. Tak peduli ia dari golongan kaya, plus sudah ada tulisan di tabung elpiji 3 kg yang dikhususkan untuk masyarakat miskin, tetap memberi ruang untuk mereka beli. Apalagi, tak ada sanksi bagi orang kaya membeli elpiji bersubsidi. Hanya soal etika saja.
Masalah lainnya adalah rawannya penyelewengan melalui pengoplosan gas oleh oknum tak bertanggung jawab. Gas dari tabung 3 kg dicampur dengan gas dari tabung 12 kg. Ini jelas merampok subsidi yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan diperuntukkan bagi rakyat miskin. Alasan pemerintah menertibkan pendistribusian masih sama, yaitu soal validitas data. Sejauh ini, rencana yang disiapkan adalah subsidi tidak lagi diberikan pada barang, tetapi langsung pada orang yang berhak menerima subsidi. Menurut rencana, mekanisme subsidi disalurkan lewat kartu beridentitas khusus.
Tahun ini saja, Pertamina memprediksi kuota elpiji 3 kg bakal jebol. Kuota yang ditetapkan dalam APBN Perubahan 2017 sebesar 6,199 juta ton. Adapun realisasi sampai November 2017 sebesar 5,75 juta ton. Pembengkakan konsumsi elpiji 3 kg diperkirakan mencapai 1,6 persen atau sekitar 99.000 ton. Dengan nilai subsidi sekitar Rp 6.000 per kg, pembengkakan subsidi bisa mencapai Rp 600 miliar. Ini bukan angka kecil. Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, realisasi subsidi elpiji tahun lalu Rp 27 triliun. Sejak elpiji 3 kg didistribusikan pada 2007, total subsidi yang sudah dikucurkan negara hingga 2016 sebesar Rp 206 triliun.
Jika ditarik lagi ke belakang soal asal muasal ”kelahiran” elpiji 3 kg ini, pendistribusian elpiji jenis ini sudah berjalan 10 tahun. Berawal dari program konversi minyak tanah ke gas, keluar Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram. Kendati sudah berjalan satu dasawarsa, masalah yang dihadapinya masih sama dan belum terpecahkan.
Sebenarnya, sudah diterbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Liquefied Petroleum Gas. Itu antara lain mengatur kriteria rumah tangga dan usaha mikro pengguna elpiji bersubsidi adalah penghasilan atau pengeluaran tidak lebih dari Rp 1,5 juta per bulan. Hal itu bisa dibuktikan melalui slip gaji atau surat keterangan tidak mampu dari kelurahan atau desa setempat. Namun, di lapangan tak berjalan.
Pemerintahlah yang punya program subsidi sekaligus penertiban penyalurannya. Kini, tinggal ditunggu kesungguhan penertiban penyaluran subsidi agar benar-benar tak diselewengkan dan tepat sasaran. (ARIS PRASETYO)