BUENOS AIRES, KOMPAS — Indonesia mendukung Organisasi Perdagangan Dunia untuk meningkatkan sistem perdagangan multilateral yang terbuka dan tidak menyalahi aturan. Namun, perdagangan harus tetap terarah pada agenda pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030. Meski demikian, perdagangan akan mendorong pengentasan rakyat dari kemiskinan.
Untuk itu, Indonesia tetap menempatkan pertanian dan perikanan sebagai prioritas perundingan dalam Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (KTM WTO) Ke-11 di Buenos Aires, Argentina, Senin (11/12) waktu setempat.
Seperti dilaporkan wartawan Kompas, Hendriyo Widi, dalam Sidang Paripurna KTM WTO, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, pembangunan harus menjadi pusat dan arah kinerja WTO. Perwakilan 164 negara anggota WTO menyampaikan posisi masing-masing untuk dibahas lebih lanjut dalam perundingan.
”WTO perlu menjawab tantangan kesenjangan kemiskinan, ketahanan pangan, dan pembangunan perdesaan. Untuk itu, kami meminta pertanian dan perikanan menjadi salah satu agenda kerja WTO,” katanya.
WTO perlu menjawab tantangan kesenjangan kemiskinan, ketahanan pangan, dan pembangunan perdesaan.
Dalam perundingan, Indonesia mendorong solusi permanen atas proposal ketersediaan stok untuk ketahanan pangan dan mekanisme perlindungan khusus terhadap produk dalam negeri dari arus impor produk pertanian negara-negara lain. Indonesia juga tetap mempertahankan subsidi perikanan yang memberikan nilai tambah bagi nelayan.
Menteri Perdagangan dan Industri India Suresh Prabhu juga menyampaikan hal sama. Menurut dia, selama ini perdagangan tidak terkait dengan pengentasan rakyat dari kemiskinan. Padahal, saat ini ada sektiar 800 juta orang mengalami kelaparan di dunia.
Di tengah perlawanan terhadap proteksionisme, Amerika Serikat justru mengkritik WTO. Kepala Perwakilan Perdagangan AS Robert Lighthizer menyatakan, WTO kehilangan fokus pada perundingan perdagangan yang mendukung proses pengadilan. ”Terlalu banyak negara yang tak mengikuti peraturan WTO. Ada juga negara-negara anggota WTO yang sebenarnya kaya, tetapi masih dikategorikan sebagai negara berkembang,” katanya.
Sementara itu, di Jakarta, Direktur Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti mengatakan, kekalahan Indonesia atas AS dan Selandia Baru di WTO dalam kebijakan pembatasan impor akan membawa dampak terhadap kebijakan pangan. Penyesuaian kebijakan pangan Indonesia dengan aturan GATT 1994 akan bertentangan dengan semangat kedaulatan pangan dan merampas kesejahteraan petani.
Sekretaris Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Agus Ruli Ardiansyah mengatakan, petani di Indonesia sudah berada di garis kemiskinan, dengan salah satu indikator nilai tukar petani (NTP) yang rendah. (DD15)