Selisih Harga Picu Persoalan
JAKARTA, KOMPAS — Selain akurasi data yang lemah, selisih harga jual gula rafinasi dan konsumsi menjadi sumber masalah pergulaan nasional. Perbedaan harga menyebabkan penyimpangan pasar. Sementara perhitungan kekurangan meleset karena data tak pernah sinkron.
Demikian salah satu poin yang mengemuka dalam Konferensi Integritas Bisnis Internasional sektor pangan bertajuk ”Mencegah Korupsi dalam Industri Gula Berbasis Tebu di Indonesia” yang diselenggarakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Selasa (12/12).
Hadir sebagai pembicara, yakni Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto, Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti, Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto, dan Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia Agus Pakpahan.
Di pedagang, selisih harga antara gula konsumsi dan rafinasi mencapai lebih dari Rp 4.000 per kilogram. Saat ini harga eceran tertinggi gula konsumsi Rp 12.500 per kg. Perbedaan itu menyuburkan spekulasi. Gula rafinasi yang semestinya hanya untuk industri, merembes ke pasar gula konsumsi. Dampaknya, harga gula dan kesejahteraan petani tertekan.
Data acuan penentu kuota impor juga tak tepat. Sebelumnya, Sekretaris Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia M Nur Khabsyin mengatakan, kebutuhan gula konsumsi hanya 2,7 juta ton setahun, sementara produksi gula lokal tahun lalu sekitar 2,3 juta ton. ”Kekurangan hanya 400.000 ton, tetapi impor mencapai 1,6 juta ton,” ujarnya.
Tekan produsen
Djarot menilai ada ketimpangan di antara tiga pihak terkait, yakni produsen, pedagang, dan konsumen. Akibat keterbatasan akses informasi, modal, dan penguasaan pasar, petani tebu sering kali jadi pihak kalah.
Suhariyanto mengatakan, hasil kajian Universitas Gadjah Mada menyebutkan, sejumlah kebijakan pergulaan lebih menguntungkan konsumen, sebaliknya justru membuat petani semakin rugi.
Sejumlah kebijakan pergulaan lebih menguntungkan konsumen, sebaliknya justru membuat petani semakin rugi.
Agus Pakpahan mengatakan, selama 2006-2016, margin pemasaran naik dari 11 persen menjadi 34 persen. Petani tebu menjadi pihak yang tertekan. Selain itu, setiap impor 3 juta ton gula, Indonesia kehilangan potensi 2,3 juta tenaga kerja di tingkat usaha tani dan 800.000 orang di tingkat lainya. Impor juga menutup potensi total hasil dan pendapatan masyarakat perdesaan puluhan triliun rupiah. Padahal, kesejahteraan petani menjadi kunci mengembangkan industri gula nasional.
Bambang mengatakan, pemerintah menargetkan swasembada gula konsumsi pada 2019 dengan produksi 3,2 juta ton. Semua kebutuhan yang diproyeksikan 6,1 juta ton diharapkan dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Caranya antara lain dengan mengoptimalkan produktivitas pabrik dan kebun tebu rakyat, membangun pabrik baru di luar Jawa, serta memanfaatkan bea masuk untuk pengembangan tebu rakyat. Terkait data, Bambang dan Panggah menyatakan, pihaknya terbuka untuk perbaikan. ”Angka memang belum akurat. Jika ada metode yang akurat, kami akan sangat terbuka,” kata Panggah. (MKN)