Di satu sisi, kapasitas unit pengujian dan kompetensi penguji, kualitas pengujian, serta ketepatan obyek yang diuji, masih menjadi persoalan. Di sisi lain, komitmen pemerintah kabupaten/kota yang membawahi unit pelaksana pengujian juga kerap dipertanyakan. Tak jarang terdapat pula konflik kepentingan antara pelaksanaan pengujian yang kredibel dan desakan pengumpulan pendapatan daerah pada unit pengujian kendaraan.
Persoalan ini mengemuka dalam diskusi bertajuk ”Mengatasi Keraguan terhadap Pengujian Kendaraan Bermotor” yang diselenggarakan Harian Kompas bekerja sama dengan Kementerian Perhubungan dan PT Jasa Raharja (Persero) di Jakarta, Rabu (13/12).
Beragam masalah membuat pengujian berkala kendaraan bermotor yang kerap disebut juga uji kir ini tidak efektif sebagai instrumen keselamatan berlalu lintas. Hal ini dikarenakan praktik pengujian di lapangan kerap tak dijalankan secara benar dan sesuai ketentuan.
”Masih ada petugas yang menjadikan uji kir sebagai pencarian. Akibatnya keselamatan tidak terjamin. Hal ini terbukti ketika kami melakukan ramp check (razia di tempat) terhadap bus dan truk ternyata 60 persen di antaranya tidak laik jalan,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang membuka diskusi ini.
Sementara Direktur Jenderal Perhubungan Darat Budi Setiyadi mengatakan, kelaikan kendaraan mengambil porsi 9,78 persen sebagai penyebab kecelakaan lalu lintas. ”Dari kelaikan kendaraan, yang paling bermasalah adalah rem sebesar 59,03 persen, diikuti masalah kemudi sebesar 13 persen,” ujarnya.
Budi Setiyadi mengatakan, pelaksanaan uji kir antara lain kerap terkendala oleh kompetensi pelaku uji kir yang belum memadai. ”Belum lagi jumlah penguji sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah kendaraan yang harus diuji,” katanya.
Pada diskusi, Ketua Dewan Pakar Ikatan Penguji Kendaraan Bermotor Indonesia Dwi Wahyono mengatakan, petugas uji kir kerap berada dalam posisi terjepit. Di satu sisi Kementerian Perhubungan meminta petugas mengedepankan keselamatan. Di sisi lain, pemerintah daerah meminta setoran pendapatan asli daerah terus bertambah melalui unit pengujian kendaraan.
”Selain itu, petugas juga sering tidak diberi peralatan yang memadai. Ada gedung uji kir di daerah dan peralatannya sudah ada sejak tahun 1970-an. Dan, hingga kini belum diperbarui. Ada juga daerah yang penghasilan dari uji kir mencapai Rp 6 miliar, tetapi peralatan uji kirnya tidak mumpuni,” ujar Dwi.
Adapun Ketua Presidium Masyarakat Transportasi Indonesia Agus Taufik Mulyono berpendapat, persoalan transportasi di Indonesia tak sebatas pada lingkup regulasi atau teknologi, melainkan juga menyangkut soal peradaban.
”Semua pihak yang terkait transportasi harus beradab. Baik dari regulator, operator, maupun masyarakat. Moral hazard yang terjadi di kalangan petugas membuat keselamatan transportasi menjadi berisiko,” kata Agus.
Kecelakaan
Pandangan bahwa kecelakaan, adalah perkara ”nasib”, kata Agus, harus diubah. Kecelakaan seharusnya dapat dicegah antara lain dengan memastikan kelaikan kendaraan. Terkait hal itu, Dwi mengatakan, sudah waktunya pemilik kendaraan dan pemilik barang juga bertanggung jawab ketika terjadi kecelakaan, terutama terkait muatan barang.
”Jangan hanya menyalahkan sopir. Kita harus melihat juga apakah pemilik kendaraan merawat kendaraannya, atau pemilik barang memaksakan muatan yang tak sesuai dengan kapasitas kendaraan,” kata Dwi. Perlu pula dibangun persepsi bahwa uji kir tak sekadar kewajiban, tetapi kebutuhan untuk memastikan kendaraan dalam kondisi terawat.
Mengakhiri diskusi, Direktur Sarana Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Eddy Gunawan mengatakan, pihaknya akan menggandeng institusi/lembaga terkait di tingkat pusat dan daerah untuk bersinergi membenahi persoalan uji kir ini.
Pada diskusi, Direktur Operasional Jasa Raharja Budi Rahardjo juga menyampaikan komitmen, pihaknya ikut aktif mempromosikan keselamatan berlalu lintas. (ARN)