Dalam seminar nasional yang diselenggarakan Badan Pemeriksa Keuangan beberapa waktu lalu mengenai energi terbarukan, terungkap sejumlah masalah di sektor tersebut. Penyebab masalah dalam proyek pengembangan energi terbarukan, salah satunya, bermula dari pemerintah itu sendiri.
Anggota IV Badan Pemeriksa Keuangan, Rizal Djalil, dalam seminar tersebut membeberkan temuan proyek-proyek pembangkit lisrtrik dari energi terbarukan yang mangkrak dalam kurun 2011-2017. Kondisinya bervariasi mulai dari rusak ringan sampai berat. Total nilainya mencapai Rp 467 miliar.
Di mana masalahnya? Kenapa sampai timbul aset yang mangkrak? Aset-aset dalam proyek yang mangkrak tersebut adalah proyek yang dibiayai menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang kemudian diserahterimakan ke daerah. Salah satu penyebabnya adalah daerah tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk mengoperasikan dan memelihara aset itu. Sumber daya itu meliputi tenaga operator dan anggaran.
Kompas pernah melaporkan contoh proyek pembangkit listrik energi terbarukan di Maluku yang mangkrak. Saat diresmikan pada Juni 2016, pembangkit listrik tenaga surya di Desa Batugoyang, Kecamatan Aru Selatan Timur, Kabupaten Kepulauan Aru dan di Desa Eliasa, Kecamatan Selaru, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, hanya berumur hitungan bulan saja. Pasalnya, warga setempat tidak dilatih mengoperasikan dan memelihara pembangkit tersebut oleh pemerintah pusat. Setelah peresmian, aset ditinggalkan begitu saja.
Selain masalah semacam itu, proyek mangkrak juga disebabkan persoalan yang dibuat pemerintah sendiri. Misalnya, ada aturan yang mengharuskan izin Presiden untuk penyerahan aset dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang nilainya di atas Rp 10 miliar. Disebut-sebut, proses birokrasinya butuh 2-3 tahun baru beres. Ibaratnya, sebelum diserahterimakan, aset itu sudah keburu rusak.
Dari sisi pelaku usaha, kendala dalam pengembangan energi terbarukan adalah kebijakan yang dibuat kerap tidak sinkron. Penyusunannya tak melibatkan pemangku kepentingan di sektor ini. Bahkan, ada peraturan yang mesti direvisi sebanyak tiga kali dalam waktu singkat. Ini membingungkan pelaku usaha karena terkesan ada ketidakpastian.
Padahal, Indonesia punya target prestisius dalam hal bauran energi nasional. Pada 2025 nanti, porsi energi terbarukan sedikitnya sebesar 23 persen dalam bauran energi. Itu setara dengan 45.000 megawatt pembangkit listrik. Rizal mengatakan, dengan kondisi seperti tersebut di atas, ia pesimistis target bauran energi pada 2025 dapat tercapai.
Di satu sisi, kendati Indonesia sedang memacu diri mengikuti tren dunia yang beralih ke energi terbarukan, menurut Ketua I Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Pri Agung Rakhmanto, Indonesia sebaiknya tidak latah. Mengoptimalkan energi terbarukan sebaiknya tak mengabaikan energi fosil. Pengelolaan energi tetap berdasar pada sumber daya dan potensi yang ada.
Jadi, setelah akar masalah terpetakan, sebaiknya segera dilakukan pembenahan. Sudah jelas mana yang menghambat dan mana yang mesti dibereskan. Seharusnya semua bisa berjalan lebih mudah untuk masalah yang timbul di dalam unsur pemerintahan itu sendiri. Yang tak kalah penting adalah kerelaan menerima masukan dari banyak pihak dan kesungguhan untuk memperbaikinya. (ARIS PRASETYO)