FAO Bangun Fasilitas Pemrosesan Sagu Terintegrasi Pertama di Dunia
Oleh
Andreas Maryoto
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Saat ini, sekitar satu dari sembilan orang di dunia tidak memiliki cukup pangan untuk dikonsumsi, sementara kekurangan gizi masih tetap menjadi tantangan dan beban yang serius untuk menjamin pembangunan manusia seutuhnya. Di Asia, 520 juta penduduk mengalami kekurangan gizi dan 20 juta diperkirakan berada di Indonesia. Jumlah anak yang rawan gizi masih tinggi di Indonesia dengan satu di antara tiga anak di bawah umur lima tahun menderita keterlambatan pertumbuhan akibat kekurangan gizi akut.
Kepastian peningkatan produksi pangan dan kemudahan akses untuk peningkatan pendapatan demi mewujudkan diet pangan yang beragam dan sehat adalah kunci untuk menjawab tantangan di atas, sekaligus untuk mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), terutama tujuan ke dua, yaitu sebagai upaya pengurangan kelaparan, akan mampu menjawab segala bentuk kekurangan gizi serta menjamin pembangunan pertanian berkelanjutan menuju tahun 2030.
Sebagai bagian upaya global, Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam siaran pers di Jakarta, Senin (18/12), menyebutkan, melalui kerja sama yang erat, FAO dengan Pemerintah Indonesia menjadi pionir untuk mewujudkan keragaman pangan di Sulawesi Tenggara. Keragaman pangan ini diharapkan mengurangi ketergantungan atas sumber karbohidrat umumnya (biji-bijian, beras dan jagung) dengan mengambil manfaat sumber daya lokal tepung tanaman sagu, yang memiliki nilai ekonomi yang penting.
Sulawesi Tenggara adalah penghasil sagu terbesar setelah Papua dengan luasan saat ini berkisar 5.000 hektar. Dari generasi ke generasi, penduduk di provinsi ini memanfaatkan sagu alam dari hutan sagu. Namun, sejak 2016, FAO menjadi pionir pemanfaatan sagu yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi bekerja sama dengan kelompok tani di Kabupaten Konawe dan Konawe Selatan dan kelompok pengolah makanan di Kota Kendari.
Proyek ini meliputi tiga program. Pertama, pengembangan usaha tani sagu dengan pendekatan agro-ekonomi untuk peningkatan produktivitas dan kualitas sagu. Kedua, membangun unit pengolahan tepung sagu terintegrasi yang higienis dan tanpa limbah. Dan, ketiga, pengembangan bisnis sagu yang terintegrasi dengan pengelolaan kebun sagu, pemrosesan, sekaligus pemasarannya.
Hari Senin ini, perwakilan FAO, Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian serta perwakilan pemerintah daerah merayakan peresmian unit pemrosesan tapung sagu yang terintegrasi di Desa Labela, Kecamatan Besulutu, di Kabupaten Konawe. Pembukaan secara resmi akan diikuti dengan diskusi sejumlah pemangku kepentingan lainnya untuk menemukan formula pengelolaan yang tepat guna mengakomodasi aspirasi kelompok tani setempat untuk pengelolaan sagu terintegrasi yang memberikan manfaat ekonomi sebesar-besarnya kepada penduduk.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Konawe M Akbar mengapresiasi program ini dengan menyatakan bahwa upaya ini akan membantu mempromosikan produksi pangan lokal sekaligus mendukung keragaman sumber daya pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan, khususnya bagi penduduk Konawe.
”Saya berharap pusat pemrosesan sagu yang terintegrasi akan meningkatkan nilai sagu menjadi produk yang diminati pasar global sekaligus memperbaiki kesejahteraan penduduk Besulutu dan Konawe,” demikian kata Akbar.
Akbar juga berharap bahwa proyek ini dapat dicontoh dan direplikasi di daerah lain yang memiliki potensi serupa. Di samping Kecamatan Besulutu, daerah potensi sagu yang besar di Konawe adalah Kecamatan Puriala, Lambuya, Meluhu, dan Sampara.
Ramah lingkungan
Unit Pengolahan Sagu Terintegrasi yang dibangun dan didukung FAO menekankan upaya peningkatan pemrosesan yang higienis, dengan ongkos produksi yang efisien dan bahkan pemanfaatan limbah dengan teknologi yang tepat untuk menjamin unit pemrosesan yang ramah lingkungan. Apabila dibandingkan dengan pemrosesan cara tradisional, di mana sagu dipanen dengan alat sederhana dan menggunakan air sungai untuk prosesnya, maka unit pemrosesan sagu modern menggunakan mesin pemarut batang sagu tepat, pengunaan sumber air bersih dengan kolam proses tepung basah yang terpisah, serta menghasilkan kualitas yang jauh lebih baik dengan waktu proses yang lebih singkat. Dengan penggunaan teknologi yang modern, pemrosesan hanya memerlukan empat jam untuk sebuah batang sagu.
Dengan rumah pengeringan yang terpisah, sepanjang hari terang, satu batang sagu akan menghasilkan sekurangnya 200 kg sagu dalam tiga hari saja. Sementara itu, apabila menggunakan pemrosesan tradisional, akan memakan waktu sampai satu minggu dengan hasil yang lebih sedikit dan kualitas yang rendah.
Sebagai bagian dari unit pemrosesan ”tanpa limbah”, limbah dari kulit sagu dimanfaatkan untuk memproduksi arang, sementara itu limbah ampas sagu digunakan sebagai media tumbuh jamur yang dapat dikonsumsi, sedangkan limbah cair dapat dimanfaatkan sebagai sumber biogas atau ethanol. Awalnya, limbah pemrosesan sagu tidak dimanfaatkan sama sekali, sementara limbah cair menjadi sumber polusi sungai setempat.
Samsuddin, salah satu petani sagu di Desa Labela, mengatakan bahwa dia sangat senang dengan fasilitas unit pengolahan sagu terintegrasi ini sekaligus pelatihaan-pelatihan yang diberikan. ”Dulu kita biasanya membuang limbah sembarangan yang merugikan dan mematikan tumbuhan lainnya,” ujarnya.
Terlepas dari keberhasilan demonstrasi pengembangan teknis pemrosesan sagu, dengan investasi pembangunan dua unit pemrosesan sagu terintegrasi dan mendukung unit usaha bisnis tepung sagu yang dikelola oleh kelompok wanita, FAO memandang bahwa masih banyak upaya yang perlu dilakukan untuk menjamin program dan usaha ekonomi ini menjadi usaha berkelanjutan
”Dengan serah terima program yang dilakukan FAO hari ini, kita masih berada dalam masa kritis dan harus terus berupaya jangan sampai kehilangan momentum. Hanya dengan upaya bersama dari seluruh pemangku kepentingan, baik dari pemerintah maupun pihak swasta, kesempatan yang besar ini dapat menjadikan pemanfaatan tanaman sagu dan pemrosesan tepung sagu akan menjadi industri pedesaan yang membawa keuntungan ekonomi di wilayah timur Indonesia,” papar Mark Smulders, Kepala Perwakilan FAO di Indonesia.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.