Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam Dadan Kusdiana mengatakan, uji coba penambahan biodiesel ini akan diterapkan untuk kendaraan roda empat dan kereta api. Uji coba akan dilakukan pada Januari hingga Maret 2018. Biodiesel dengan tingkat pencampuran 20 persen (B20) akan diterapkan untuk kereta api, sedangkan tingkat pencampuran 30 persen (B30) diterapkan pada kendaraan roda empat.
”Dari hasil kajian sementara, biodiesel pada kereta api kurang cocok dipakai. Saat ini sedang disiapkan uji coba kembali untuk kereta api jalur Jakarta-Bandung untuk memastikan hasil kajian benar-benar tepat pemakaiannya,” kata Dadan saat dihubungi, Minggu (17/12), di Jakarta.
Pada sidang anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Ke-23 Oktober lalu, salah satu hasil rekomendasi sidang adalah perlunya evaluasi pengembangan bahan bakar nabati (BBN). Salah satu kebijakan yang mengatur pemanfaatan BBN adalah Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.
Evaluasi ini dipandang perlu karena ditemukan masalah teknis pada mesin kereta api, alat berat tambang, dan mesin pada alat utama sistem persenjataan akibat pencampuran biodiesel ke dalam solar.
”Penggunaan biosolar (biodiesel bercampur solar) pada alat berat menimbulkan endapan yang berubah menjadi kerak di ruang pembakaran. Akibatnya, ongkos perawatan membengkak karena penggantian filter menjadi lebih sering,” ujar anggota DEN, Achdiat Atmawinata.
Peraturan Menteri ESDM No 12/2015 mewajibkan pencampuran biodiesel dalam solar berlaku mulai April 2015 sebanyak 15 persen (B15). Artinya, tiap liter solar mengandung 15 persen biodiesel. Selanjutnya, dari Januari 2016 hingga akhir 2019, tingkat pencampuran dinaikkan menjadi B20. Lalu, dinaikkan lagi menjadi B30 sejak Januari 2020.
Selisih harga
Ketua Komite Penghapusan Bensin Bertimbal Ahmad Safrudin mengatakan, selain dilakukan kajian teknis, pemerintah juga perlu memperhatikan lebar-nya selisih harga BBN dengan bahan bakar minyak (BBM), khususnya solar. Harga per liter BBN yang jauh lebih mahal ketimbang BBM, membuat pengembangan BBN tidak optimal. Pemerintah sebaiknya memberikan insentif bagi pengembangan BBN.
”Sebaliknya, disinsentif diberikan untuk bahan bakar fosil, misalnya, berupa cukai emisi yang ditimbulkan,” ujar Ahmad.
Selain lebih ramah lingkungan, pemanfaatan biodiesel sebagai bahan bakar dapat mengurangi impor solar. Dengan demikian, belanja devisa bisa dihemat. Melalui pemanfaatan biodiesel pada 2015, pemerintah menyebutkan adanya penghematan devisa senilai 1,3 miliar dollar AS. Sebagai negara produsen minyak kelapa sawit, ketersediaan biodiesel dalam negeri terbilang melimpah.
Selanjutnya, pada 2016, realisasi penyaluran biodiesel sebanyak 3,65 juta kiloliter. Dengan asumsi harga minyak dunia saat itu 60 dollar AS per barrel, devisa yang dihemat pada 2016 sekitar 1,37 miliar dollar AS. Pemerintah menargetkan penyaluran biodiesel tahun ini sebanyak 4,6 juta kiloliter. (APO)