JAKARTA, KOMPAS — Perayaan Hari Buruh Migran Internasional yang jatuh setiap 18 Desember diwarnai refleksi pencapaian perlindungan. Hasilnya adalah masih banyak pekerja mengalami pengabaian hak asasi selama sebelum hingga tiba bekerja di negara penempatan.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo dalam keterangan pers, Senin (18/12), di Jakarta, mencontohkan sejumlah kasus. Contoh pertama adalah penyiksaan yang dialami Suyantik, pekerja rumah tangga migran Indonesia yang bekerja di Malaysia. Pada semester pertama tahun 2017, Migrant Care turut membongkar praktik perbudakan sejumlah buruh migran perempuan Indonesia yang dipekerjakan tidak sesuai dengan kontrak oleh Maxim. Maxim adalah industri pengolahan makanan berbahan dasar sarang burung walet yang berbasis di Malaysia.
Pada Juli 2017, ratusan ribu pekerja migran Indonesia menjadi sasaran razia otoritas Malaysia yang mengakhiri program amnesti. Sepanjang Januari-Februari 2017, Migrant Care menerima pengaduan adanya penyekapan sekitar 300 perempuan pekerja migran Indonesia di kawasan Riyadh, Arab Saudi.
”Jangan lupakan juga Siti Aisyah, buruh migran Indonesia asal Serang, Banten, saat ini harus menghadapi tuduhan terlibat dalam pembunuhan kerabat petinggi politik Korea Utara,” ujar Wahyu.
Dalam kunjungan kerja ke Ponorogo, Jawa Timur, di hari yang sama, Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri mengatakan, pemerintah telah meratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012. Sebulan lalu, Indonesia yang diwakili Presiden Joko Widodo menandatangani Konsensus Perlindungan bagi Pekerja Migran bersama sembilan kepala negara ASEAN lainnya.
”Pemerintah memandang migrasi merupakan hak dan pilihan bagi warga negara. Tugas pemerintah adalah menyediakan proses migrasi yang aman, mudah, dan murah,” kata Hanif.