Hunian adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Saat ini, rumah bukan hanya dibutuhkan oleh keluarga, tetapi juga kaum lajang di usia produktif.
Setiap tahun, kebutuhan rumah baru di Indonesia berkisar 700.000-800.000 unit karena laju pertumbuhan penduduk dan hadirnya keluarga-keluarga baru. Sementara itu, pasokan rumah masih sangat terbatas, yakni berkisar 200.000-300.000 per tahun. Ini memicu kekurangan (backlog) rumah. Semakin banyak masyarakat tidak bisa menjangkau rumah, khususnya masyarakat menengah ke bawah.
Kekurangan rumah sudah terlihat sejak Orde Baru dan jumlahnya terus meningkat. Pada 1998, backlog rumah sekitar 5 juta. Pada 2004, jumlahnya naik menjadi 7 juta, 2009 mencapai 11 juta, dan 2010 mencapai 13,6 juta. Pada 2013, kekurangan rumah menembus 15 juta.
Kesulitan rumah pun melanda generasi milenial yang mendominasi pasar pekerja usia produktif. Generasi milenial yang lahir di tahun 1980-2000 dan kini memiliki rentang usia 20-36 tahun terancam sulit mencari rumah dengan harga terjangkau. Pertumbuhan gaji atau pendapatan berkisar 5-10 persen per tahun tidak mampu mengejar laju kenaikan harga rumah yang berkisar 20-30 persen per tahun.
Sejalan dengan bonus demografi, pada 2030, kebutuhan rumah kian tak terelakkan. Pada 2030, jumlah penduduk usia produktif di Indonesia diprediksi mencapai 180 juta orang. Program sejuta rumah yang digagas Presiden Joko Widodo dan jajarannya untuk menggenjot penyediaan rumah menjadi salah satu solusi pembiayaan, tetapi belum optimal mengatasi kekurangan rumah. Kebijakan pembiayaan perumahan dalam program sejuta rumah, seperti fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), subsidi selisih bunga kredit pemilikan rumah, dan bantuan uang muka lebih mengarah pada kepemilikan rumah komersial dan hanya menyentuh kelas pekerja formal yang layak bank (bankable).
Padahal, tidak semua lapisan masyarakat, mampu membeli rumah tinggal. Pekerja informal/nonformal dengan penghasilan tak tetap cenderung tidak memenuhi syarat pinjaman bank (unbankable) sehingga belum mendapat manfaat dari program sejuta rumah. Dibutuhkan terobosan pemerintah dan perbankan untuk menggulirkan skema kredit pemilikan rumah bagi pekerja informal sebagai potensi pasar pembiayaan perumahan.
Upaya menekan laju kekurangan rumah tidak cukup dengan politik anggaran untuk aspek pembiayaan, tetapi juga butuh terobosan dari aspek suplai. Selama ini, kontribusi terbesar dalam penyediaan rumah rakyat berasal dari pengembang swasta. Data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menunjukkan, anggaran pemerintah hanya memenuhi 19 persen penyediaan rumah, sisanya dibangun pengembang atau swasta dan masyarakat secara swadaya.
Pembangunan rumah umum (public housing) berupa rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di perkotaan yang sifatnya massal dengan sistem sewa terjangkau harus didorong sebagai salah satu cara mengurai kekurangan pasokan. Masyarakat yang belum bisa membeli rumah atau mengakses kredit perumahan dapat menempati rumah dengan cara sewa.
Peran swasta untuk pembangunan rumah rakyat perlu ditingkatkan lewat kemudahan perizinan. Kendala perizinan dan birokrasi hingga kini masih menjadi momok dalam pembangunan perumahan rakyat. Sejumlah regulasi perlu segera diimplementasikan dan melalui peraturan daerah yang mempercepat perizinan. Kredit konstruksi bagi pengembang rumah bersubsidi juga perlu dipermudah agar pengembang bisa membangun lebih banyak rumah.
Gagasan tabungan perumahan rakyat yang tengah digulirkan pemerintah sebagai sumber pembiayaan perumahan masih butuh pembuktian efektivitasnya. Pemenuhan kebutuhan papan untuk semua butuh keberpihakan dan kerja sama seluruh pemangku kepentingan. (BM LUKITA GRAHADYARINI)