Pemerintah memberi toleransi terhadap penggunaan alat tangkap pukat hela dan tarik yang mencakup antara lain dogol, arad, cantrang, garok, payang, dan sejenisnya hingga akhir tahun ini. Sejak terbit Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik di Wilayah Pengelolaan Perikanan pada 8 Januari 2015, implementasi aturan itu beberapa kali ditunda karena terjadi polemik di masyarakat.
Masa transisi pun diterapkan. Sejak 2016, pemerintah menyalurkan bantuan alat tangkap ikan pengganti pukat hela dan tarik untuk kapal nelayan di bawah 10 gros ton (GT). Tahun ini, 6.579 paket bantuan dikucurkan, ditambah penyelesaian distribusi 676 paket bantuan dari program 2016. Dukungan peralihan cantrang dan sejenisnya terus mengalir dari nelayan di sejumlah wilayah yang selama ini dirugikan oleh penggunaan pukat yang menguras sumber daya serta merusak lingkungan. Di lain pihak, penolakan kebijakan itu tak kalah kencang.
Di beberapa wilayah, bantuan alat tangkap pengganti ditolak, antara lain berlangsung di Lamongan (Jawa Timur) dan Kota Tegal (Jawa Tengah). Penolakan dipicu beberapa hal, yakni keresahan nelayan karena bantuan tidak sesuai spesifikasi yang diharapkan, nelayan tidak terbiasa menggunakan alat tangkap tersebut, hingga keraguan sejauh mana alat tangkap pengganti bisa memberi hasil yang optimal.
Sementara itu, masih banyak nelayan pukat hela dan tarik dengan kapal berukuran di atas 10 GT yang tidak tergolong penerima skema bantuan belum berganti alat tangkap. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan, kapal cantrang dan sejenisnya berukuran 10-30 GT berjumlah 1.223 unit. Kapal yang belum beralih ke alat tangkap ramah lingkungan hingga pertengahan November 2017 sebanyak 670 unit.
Hasil kajian Kantor Staf Kepresidenan menunjukkan beberapa persoalan terkait lambannya transisi alat tangkap. Hal itu antara lain nelayan cantrang mau berganti alat tangkap, tetapi tidak memiliki modal. Akses ke kredit bank untuk alat tangkap masih sulit karena terbelit kredit lama pembelian alat tangkap. Kedua, nelayan cantrang telah berganti alat tangkap, tetapi tidak nyaman sehingga kembali ke alat tangkap lama. Ketiga, nelayan menolak penggantian alat tangkap cantrang.
Pembentukan Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan Badan Layanan Umum KKP untuk menjembatani kebuntuan permodalan usaha perikanan baru mulai beroperasi 10 November 2017. Waktu 1,5 bulan yang tersisa bagi badan tersebut untuk menyalurkan kredit alat tangkap bagi ratusan nelayan sulit diterapkan. Padahal, total anggaran BLU mencapai Rp 500 miliar.
Pemerintah sejatinya memiliki waktu hampir 3 tahun mempersiapkan masa transisi penggantian pukat hela dan tarik dengan baik. Sayangnya, skema bantuan alat tangkap dan permodalan yang muncul belakangan tak berjalan mulus. Hambatan juga masih terjadi pada program pengadaan kapal bantuan nelayan yang telah berjalan 7 tahun. Meski sejumlah pembenahan mulai dilakukan, persoalan masih berulang, seperti kapal yang tidak sesuai spesifikasi, belum dilengkapi alat tangkap, hingga pengiriman mesin kapal tenggelam di perairan Laut Jawa.
Menjelang akhir tahun, Komisi IV DPR memutuskan untuk menghentikan sementara atau moratorium program bantuan kapal nelayan 2018 senilai Rp 501 miliar untuk memberi waktu bagi pemerintah mengevaluasi dan memperbaiki kesalahan yang masih terulang. Proses pengadaan bantuan kapal itu dinilai masih mengabaikan partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas.
Program bantuan kapal dicanangkan KKP sejak 2010. Pengadaan bantuan 1.000 kapal Inka Mina berlangsung pada 2009-2014 untuk kapal berukuran rata-rata 30 GT dan dilanjutkan pada 2014-2019 dengan ukuran kapal lebih bervariasi, mulai dari 3 GT, 5 GT, 10 GT, 20 GT, hingga di atas 30 GT.
Momentum
Penyaluran ribuan kapal bantuan sejatinya merupakan momentum untuk meningkatkan produksi perikanan di tengah stok perikanan yang terus meningkat. KKP merilis stok ikan nasional naik signifikan, yakni dari 9,93 juta ton pada 2015 menjadi 12,54 juta ton pada 2016. Namun, di tengah stok ikan yang meningkat, ekspor perikanan masih jauh dari target. KKP memangkas target ekspor tahun ini dari semula 7,6 miliar dollar AS menjadi 4,5 miliar dollar AS. Pada Januari-Oktober 2017, ekspor perikanan baru mencapai 862.100 ton dengan nilai 3,617 miliar dollar AS.
Di depan mata, kompetisi dengan negara-negara produsen perikanan kian ketat. Sebagai produsen perikanan tangkap nomor dua dunia setelah China, ekspor Indonesia masih tertinggal, yakni hanya menduduki peringkat ke-12 eksportir perikanan dunia, kalah dengan Vietnam, India, dan Thailand yang garis pantai dan luas daratan jauh lebih sempit.
Pada 2018, diharapkan menjadi tahun kebangkitan sektor perikanan dalam negeri. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti telah berkomitmen bahwa anggaran KKP tahun 2018 sebesar Rp 4,9 triliun atau 70 persen dari anggaran KKP senilai Rp 7,28 triliun dialokasikan bagi belanja barang untuk pemangku kepentingan kelautan dan perikanan serta program masyarakat.
Segala daya dan energi harus dikerahkan untuk membangkitkan kembali sektor perikanan. Instruksi Presiden
Nomor 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional hanya bisa terwujud lewat keberpihakan negara terhadap pelaku usaha nasional dan keseriusan membereskan masalah klasik nelayan dan pembudidaya dalam hal akses permodalan, infrastruktur, dan kemudahan perizinan.
Saatnya kapal-kapal perikanan didorong semakin berdaya di negeri sendiri. Pemerintah perlu mendorong investasi kapal tuna untuk beroperasi di laut lepas. Melalui kemudahan iklim usaha, akses permodalan, dan terobosan pemasaran, diharapkan produk perikanan Indonesia yang ditangkap dengan cara ramah lingkungan menghasilkan pasokan ikan bermutu tinggi bagi rakyat dan mengisi ceruk ekspor. (BM Lukita Grahadyarini)