Stabilitas Pengaruhi Penawaran Saham
JAKARTA, KOMPAS — Stabilitas ekonomi makro dalam negeri sepanjang tahun ini berdampak maraknya perusahaan melakukan penawaran saham perdana di Bursa Efek Indonesia. Makin banyak perusahaan yang mulai melirik pasar saham sebagai alternatif sumber pendanaan.
Hingga Senin (18/12), tercatat 34 perusahaan baru turut mencari sumber pendanaan di pasar modal sepanjang 2017. Jumlah tersebut melonjak dibandingkan 2016 lalu, yakni 14 perusahaan yang melakukan penawaran saham perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Bahkan sebelum pergantian tahun 2018, BEI optimistis masih ada satu perusahaan, yakni PT Campina Ice Cream Industry, yang akan melakukan penawaran umum saham perdana di lantai bursa. Direktur Penilaian BEI Samsul Hidayat mengatakan, selain stabilitas ekonomi makro, regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mendorong perusahaan dengan modal skala kecil dan menengah mulai melantai di pasar modal.
”Stabilitas ekonomi makro membuka kesempatan perusahaan untuk melakukan ekspansi. Di samping itu, kebijakan OJK dalam memprioritaskan pertumbuhan usaha kecil dan menengah menyebabkan perusahaan-perusahaan itu mulai melirik pasar saham,” ujar Samsul.
Stabilitas ekonomi makro membuka kesempatan perusahaan untuk melakukan ekspansi.
Meski demikian, nilai perusahaan yang melakukan penawaran saham perdana kepada publik (IPO) pada tahun ini lebih kecil dibandingkan 2016. Tahun lalu, nilai emisi dari 16 perusahaan yang melakukan IPO sebesar Rp 12,07 triliun. Sementara tahun ini, total nilai emisi dari 34 perusahaan sekitar Rp 8,8 triliun.
Kondisi ini menggambarkan banyak perusahaan dengan jumlah modal skala kecil dan menengah mulai membuka diri untuk menjadikan pasar modal sebagai sumber pendanaan. Samsul mengklaim, sekitar 65 persen dari 34 perusahaan yang melakukan IPO, mencatatkan saham mereka di papan pengembangan. Papan pengembangan adalah papan pencatatan yang disediakan untuk mencatatkan saham dari perusahaan yang memiliki sumber dana minimal Rp 5 miliar serta memiliki pengalaman operasional sekurang-kurangnya 12 bulan.
Sementara papan utama merupakan papan pencatatan yang disediakan untuk mencatatkan saham dari perusahaan yang memiliki sumber dana minimal Rp 100 miliar dan memiliki pengalaman operasional sekurang- kurangnya 36 bulan. ”Artinya perusahaan bermodal terbatas kini mulai sadar bahwa tidak perlu menunggu besar untuk IPO. Justru dengan IPO perusahaan malah bisa bertumbuh menjadi besar,” ujarnya.
Target tahun depan
Tahun depan, Samsul menargetkan sebanyak 35 perusahaan menggelar IPO. Proyeksi tersebut berasal dari stabilitas rupiah dan asumsi pertumbuhan ekonomi 2018 yang berada di atas 5,2 persen. ”Sebenarnya bisa saja kami mengasumsikan target IPO 2018 bisa lebih besar. Namun, karena ada agenda politik (pilkada serentak), kegiatan bisnis pasti akan terpengaruh,” kata Samsul.
PT Asuransi Jiwa Syariah Jasa Mitra Abadi Tbk menjadi perusahaan ke-34 yang tahun ini melakukan IPO di BEI. Dengan kode perdagangan JMAS, kepemilikan perusahaan asuransi syariah ini diperdagangkan di papan pengembangan. Dalam melakukan IPO, PT Asuransi Jiwa Syariah Jasa Mitra Abadi melepas 400 juta lembar saham atau sekitar 40 persen dari nilai keseluruhan modal kepada publik.
Perseroan berharap mendapat dana dari IPO sebesar Rp 56 miliar. Saat perdagangan perdana di BEI, saham JMAS tercatat naik 98 poin atau sekitar 70 persen ke posisi Rp 238 per lembar saham dibandingkan harga perdana Rp 140 per lembar saham. ”Dengan mencatatkan saham di BEI, JMAS diharapkan dapat terus memberikan layanan terbaik untuk umat dan meningkatkan literasi keuangan syariah di Indonesia,” ujar Direktur Utama Asuransi Jiwa Syariah Jasa Mitra Abadi Ibrahim. (DIM)