JAKARTA, KOMPAS — Persoalan pergulaan nasional dinilai tidak bisa dipecahkan hanya melalui pengadaan lelang gula rafinasi. Hal lebih penting adalah membenahi industri gula dari hulu ke hilir agar lebih efisien.
”Kita harus masuk ke substansi bahwa sisi hulu memang tidak efisien karena tidak dioptimalkan. Apalagi sebenarnya kita punya kemampuan menghasilkan gula sendiri,” kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani di Jakarta, Selasa (19/12), saat membuka diskusi publik Apindo bertajuk ”Pasar Lelang Gula Rafinasi, Perlukah?”.
Solusi persoalan gula tidak bisa dilakukan dengan kebijakan parsial yang tidak membangun daya saing secara keseluruhan. Ketua Apindo Bidang Kebijakan Publik Danang Girindrawardana mengatakan, pelaku industri sebenarnya berharap ada pengkajian substansi Peraturan Menteri Perdagangan tentang Lelang Komoditas Pasar Gula Rafinasi.
”Kami terkejut ketika ternyata peraturan itu hanya ditunda implementasinya,” kata Danang. Pengaturan tersebut dinilai lebih bersifat parsial dan tidak mencakup kompleksitas masalah. Terkait hal ini, Dewan Pengurus Nasional Apindo menyusun tim untuk membedah terkait permendag tersebut.
Tim ini, kata Danang, menganalisis substansi regulasi untuk mendiagnosis pasal demi pasal permendag. Analisis substansi regulasi juga dilakukan untuk melihat kontradiksi antarpasal dan kontradiksi permendag tersebut dengan regulasi lain. Dampak regulasi dari sudut pandang pengguna juga menjadi kajian.
Analisis Apindo ini membuahkan rekomendasi perubahan kebijakan yang disampaikan kepada Presiden. Salah satu rekomendasi tim adalah pencabutan, bukan penundaan implementasi Permendag tentang Lelang Komoditas Pasar Gula Rafinasi.
Koordinator Forum Lintas Asosiasi Industri Pengguna Gula Rafinasi Dwiatmoko Setiono juga berpandangan tidak perlu ada lelang gula rafinasi.
Senada dengan Apindo, Direktur Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati mengatakan, menyelesaikan persoalan gula tidak bisa hanya dengan menangani sisi tata niaga. Hal paling utama adalah membenahi masalah di sisi hulu, baik di lahan pertanaman tebu maupun industri gula.
Ia menambahkan, berdasarkan banyak kajian, di Jawa hampir tidak memungkinkan dilakukan ekspansi. ”Pilihannya adalah meningkatkan produktivitas pabrik-pabrik gula di luar Jawa,” katanya.
Meski begitu, Enny menilai perlu ada evaluasi komprehensif untuk melihat persoalan efisiensi. Hal ini karena ada pula pabrik gula di Jawa yang mampu dikelola efisien dan sebaliknya di luar Jawa pun ada pabrik gula yang tidak efisien. Untuk mengefisienkan pasokan gula, menurut Enny, tidak ada urgensi membedakan gula kristal rafinasi dan gula kristal putih.
Bawang putih
Di Tuwel, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, adanya jaminan harga mendorong petani bawang putih berinisiatif memperluas area penanaman. Kawasan ini menjadi satu dari beberapa sentra di Indonesia yang diharapkan menopang kebutuhan benih sekaligus produksi bawang putih nasional.
Ketua Gabungan Kelompok Tani Budi Luhur Abdul Jafar (43) di Tegal, Selasa (19/12), menyebutkan, berdasarkan nota kesepakatan dengan pemerintah melalui Balai Penelitian Tanaman Sayur Kementerian Pertanian, 14 kelompok tani anggotanya ditargetkan menanam bawang putih untuk menyuplai kebutuhan benih tahun 2018 di areal seluas 15 hektar. Jaminan harga dan pasar memotivasi petani meningkatkan luas tanamnya.
”Petani cukup gembira hasil panennya akan dibeli pemerintah meski jumlah produksinya melebihi target. Mereka akhirnya memperluas penanaman. Setelah kami hitung lagi, ternyata luas tanam mencapai 22 hektar. Jaminan harga dan pasar menjadi motivasi terbaik bagi petani,” ujarnya.
Ketua Kelompok Tani Kreatif di Tuwel, Bustanul Arifin (50), menambahkan, jaminan harga memang membuat dirinya berinisiatif memperluas area tanam. (CAS/MKN)