Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (KTM WTO) ke-11 di Buenos Aires, Argentina, pada 10-13 Desember 2017, telah usai. Terdapat dua arus perdagangan dan dua arus kepentingan besar dalam KTM WTO itu. Kedua arus perdagangan itu adalah proteksionisme dan multilateralisme. Adapun dua arus kepentingan besar itu menunjuk pada Amerika Serikat dan China.
WTO ingin melawan proteksionisme yang dicetuskan Presiden AS Donald Trump. Hal itu diawali dengan pernyataan pedas Direktur Jenderal WTO Roberto Azevedo dalam pembukaan KTM WTO ke-11. Proteksionisme menimbulkan sentimen negatif yang menghambat hubungan antarnegara sehingga harus diatasi dengan meningkatkan perdagangan inklusif dan multilateral.
Posisi sistem perdagangan multilateral perlu diperkuat dengan meminta dukungan negara-negara anggota. Hasilnya, empat pemimpin negara di Amerika Selatan, yaitu Argentina, Brasil, Uruguay, dan Paraguay, menyatakan perang terhadap proteksionisme dengan menandatangani deklarasi bersama. Hal itu diikuti oleh 40 negara yang membuat pernyataan bersama melaksanakan sistem perdagangan multilateral. Sehari setelah pembukaan dan deklarasi itu, Kepala Perwakilan Perdagangan AS Robert Lighthizer menyampaikan kritik tajam dalam sidang paripurna. Menurut Lighthizer, WTO kehilangan fokus pada perundingan perdagangan dan dinilai hanya menjalankan peran sebagai lembaga pengadilan perdagangan.
Lighthizer juga berpendapat, WTO perlu memikirkan kembali definisi mengenai negara berkembang. Banyak negara yang sebenarnya kaya dan maju tetapi mendeklarasikan diri sebagai negara berkembang. WTO membiarkan hal itu terjadi karena dalam regulasi, negara berhak mendeklarasikan statusnya sendiri. Lighthizer bermaksud menyinggung China yang sebenarnya merupakan negara maju tetapi mengaku sebagai negara berkembang.
AS juga mengkritisi kedekatan WTO dengan China. Banyak negara menuding China telah mempraktikkan perdagangan yang tidak adil. Namun, WTO hanya diam dan bahkan terkesan memberikan ruang kepada China. Sehari sebelum pembukaan KTM WTO di Buenos Aires, WTO memberi ruang bagi forum Meja Bundar China ke-6. Forum itu menghasilkan penegasan kembali dukungan bagi negara-negara terbelakang yang akan bergabung dalam WTO. Pemerintah China memberikan dana 500.000 dollar AS untuk mendukung program itu. China juga memberikan dana 1 juta dollar AS kepada program dana fasilitasi pelaksanaan program Perjanjian Fasilitasi Perdagangan.
Dalam pengembangan e-dagang, WTO bermitra dengan Jack Ma, pendiri Alibaba yang merupakan perusahaan e-dagang China. Tujuannya adalah mempromosikan pembukaan Perdagangan Digital Lintas Batas bagi Usaha Kecil (E-WTP). AS bersama Uni Eropa dan Jepang mengkritik China kendati tidak menyebut secara langsung. Ketiga negara itu membuat pernyataan bersama untuk memperkuat komitmen kompetisi di level yang setara. Pernyataan bersama itu dilakukan Komisioner Uni Eropa Cecilia Malmstroem, Menteri Perdagangan Jepang Hiroshige Seko, dan Robert Lighthizer. Mereka mengkritik China yang selama ini memberikan subsidi besar-besaran kepada industrinya. Hal itu menyebabkan harga dunia tertekan dan produk-produk di setiap negara kalah bersaing.
Hal itu mengindikasikan negara industri besar frustrasi atas praktik perdagangan China. Selama ini, China memberikan subsidi hampir di semua lini industri ekspor, seperti subsidi untuk perusahaan milik negara, hingga persyaratan transfer teknologi untuk perusahaan asing. Indonesia berada dalam dua arus pusaran proteksionisme dan multilateralisme. Indonesia juga masih bertumpu pada AS dan China karena kedua negara itu pasar ekspor utama. Namun, Indonesia tetap perlu menjaga kepentingan nasional di tengah-tengah arus perdagangan dan kepentingan dua negara besar itu. (HENDRIYO WIDI)