Mengoptimalkan Insentif
Siklus perekonomian Indonesia yang berjalan dinamis memerlukan penanganan serius. Indikator-indikator makro yang sudah positif pun ternyata belum mampu mendorong pertumbuhan yang signifikan. Jadi, Indonesia perlu terus mengoptimalkan berbagai indikator positif yang menjadi insentif bagi perekonomian.
Hal ini tentu saja berkaitan dengan perekonomian Indonesia yang sangat tergantung pada komoditas. Walaupun sudah bertahun-tahun desain industrialisasi diluncurkan, harus diakui bahwa kontribusinya belum optimal. Kita tetap harus mengakui bahwa kita tak bisa melepaskan diri dari komoditas dalam jangka pendek ini. Walaupun kontribusi terhadap perekonomian masih lebih kecil dibandingkan Jawa, perekonomian Sumatera dan Kalimantan yang berbasis komoditas tetap memengaruhi ekonomi nasional.
Kontribusi Sumatera yang ditopang oleh komoditas perkebunan dan pertambangan pada triwulan III-2017 tercatat 21,54 persen dengan pertumbuhan produk domestik bruto 4,43 persen. Kontribusi Kalimantan mencapai 8,1 persen dengan pertumbuhan 4,57 persen. Sementara Jawa yang perekonomiannya ditopang oleh sektor industri, pertanian (termasuk perikanan), dan jasa berkontribusi 58,51 persen terhadap perekonomian nasional dengan pertumbuhan 5,51 persen.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2017 tercatat sebesar 5,06 persen. Pertumbuhan ekonomi Sumatera dan Kalimantan sangat dipengaruhi oleh pergerakan harga komoditas. Saat harga komoditas jatuh, ekonomi Kalimantan Timur bahkan sempat turun. Begitu harga komoditas beranjak naik, perekonomian kedua pulau itu juga menggeliat lagi. Harga batubara, minyak kelapa sawit mentah, dan karet terdorong oleh kenaikan harga minyak mentah dunia. Harga minyak mentah dunia jenis WTI pada Jumat (22/12) untuk kontrak pengiriman pada Februari 2018 tercatat sebesar 58 dollar AS per barrel. Adapun harga minyak mentah Brent untuk kontrak pengiriman pada Februari 2018 tercatat sebesar 64 dollar AS per barrel. Harga minyak mentah itu sudah jauh lebih baik dibandingkan pada Desember 2016 yang mencapai titik terendah 29 dollar AS per barrel.
Insentif lain yang belakangan diharapkan ikut mendorong ekonomi Indonesia adalah kenaikan peringkat utang jangka panjang dari lembaga pemeringkat Fitch Ratings. Setelah memberikan peringkat BBB- dengan proyeksi positif pada 21 Desember 2016, Fitch menaikkan peringkat utang jangka panjang Indonesia ke level BBB dengan proyeksi stabil. Peringkat layak investasi di level BBB itu melengkapi predikat layak investasi yang telah diberikan oleh Moody\'s Investors Service (per 9 Februari 2017) dan Standard and Poor\'s (per 19 Mei 2017).
Kenaikan peringkat utang jangka panjang Indonesia yang memperkuat predikat Indonesia sebagai negara layak investasi itu disambut oleh investor pada instrumen portofolio. Indeks Harga Saham Gabungan mencatatkan rekor baru lagi pada penutupan perdagangan Jumat (22/12) di level 6.221, naik 37,6 poin atau 0,61 persen dibandingkan penutupan perdagangan pada Kamis.
Agar insentif untuk perekonomian makin optimal, kenaikan peringkat utang jangka panjang itu harus diikuti oleh konsistensi pemerintah dalam menjaga iklim usaha dan investasi. Stabilitas ekonomi dan sosial akan terus dipantau oleh investor. Berbagai indikator ekonomi makro, seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan defisit transaksi berjalan yang membaik akan menarik investor masuk ke instrumen portofolio dan investasi langsung. Pembangunan infrastruktur yang terus berlangsung diharapkan bisa menjaga daya saing Indonesia di masa depan. Dengan demikian, berbagai insentif akan berperan makin optimal bagi perekonomian. (A HANDOKO)