Oleh karena itu, pemerintah segera menyiapkan nota kerja sama dengan kepolisian dan pemerintah daerah. Kerja sama itu untuk menertibkan distribusi bahan bakar minyak (BBM). Sampai dengan 24 Desember 2017, realisasi program ini mencapai 40 lokasi dari 54 lokasi yang ditargetkan pada 2017.
Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Fanshurullah Asa mengatakan, mekanisme kerja sama dengan kepolisian dan pemerintah sedang disiapkan. Kerja sama itu khusus mengenai mekanisme pengawasan pendistribusian BBM di titik-titik dalam program BBM satu harga. Selain itu, sosialisasi program BBM satu harga akan diintensifkan.
”BPH Migas akan membuat nota kesepahaman dengan kepolisian dan pemerintah daerah untuk pengawasan distribusi BBM di daerah-daerah di lokasi program BBM satu harga. Kami juga akan melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh pemuda setempat dalam sosialisasi pentingnya program BBM satu harga,” ujar Fanshurullah saat dihubungi dari Jakarta, Senin (25/12).
Program BBM satu harga diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 36 Tahun 2016. Jenis BBM yang diatur ialah solar bersubsidi dan premium. Program ini bertujuan untuk menyamakan harga BBM di wilayah terpencil, terluar, dan terdepan di Indonesia dengan harga resmi yang ditetapkan pemerintah saat ini. Harga solar bersubsidi Rp 5.150 per liter, sedangkan premium Rp 6.450 per liter.
”Tokoh warga setempat adalah ujung tombak pengawasan distribusi BBM satu harga di wilayah terpencil, terluar, dan terdepan,” kata Fanshurullah.
Pengamatan Kompas di Kabupaten Fakfak, Papua Barat, pekan lalu, BBM yang dijual di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) cepat habis diborong pembeli. Umumnya, BBM itu diborong untuk dijual kembali secara eceran dengan harga yang jauh lebih mahal. Pengawasan yang lemah di SPBU menyebabkan pemborong bebas membeli BBM dalam jumlah melebihi kewajaran.
”Akibatnya, kami membeli dengan harga lebih mahal. Untuk premium, kami beli di pengecer seharga Rp 20.000 per liter,” ujar Simon Hombahomba (25), warga Kabupaten Fakfak, pekan lalu.
Menurut Munzir (39)—pengemudi angkutan lintas pedalaman—tak ada masalah dengan harga BBM di SPBU. Namun, pengawasan yang longgar di SPBU memungkinkan orang-orang tertentu memborong BBM jenis premium dalam jumlah banyak.
”Stok di SPBU cepat habis, lalu dijual kembali oleh orang-orang di luar SPBU dengan harga Rp 10.000 per liter,” kata Munzir yang ditemui di salah satu SPBU di Kabupaten Nabire, Papua.
Informasi yang dihimpun dari Kantor Staf Presiden, sebelum program BBM satu harga direalisasikan, harga BBM jenis premium dan solar di wilayah itu berkisar Rp 12.000-Rp 100.000 per liter.
Terkait dengan hal itu, Presiden Joko Widodo mengajak masyarakat ikut mengawasi pelaksanaan program BBM satu harga. Ajakan itu disampaikan Presiden saat meninjau lokasi pembangunan Bandara Douw Aturure di Nabire, pekan lalu.
”Kalau ada (masalah), tolong (dilaporkan) atau dicek di lapangan sajalah, di mana, akan kami perbaiki. Kalau dapat laporan di mana, itu yang saya kejar,” kata Presiden kepada wartawan.
Sejak awal pelaksanaan program tersebut, Presiden telah memerintahkan jajarannya bersama Pertamina untuk mengawasi jalannya program itu di lapangan.
Konsumen akhir
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, tujuan program BBM satu harga adalah menciptakan keadilan harga BBM untuk seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus benar-benar mengawal dan merealisasikan program tersebut dengan sungguh-sungguh di lapangan. Penjual tak resmi yang menjual BBM jauh lebih mahal daripada harga sebenarnya harus ditertibkan.
”Sasaran program BBM satu harga adalah harga yang seragam sampai konsumen tingkat akhir. Maka, pemerintah harus bertanggung jawab agar BBM satu harga benar-benar terwujud,” kata Komaidi.
Pemerintah menunjuk Pertamina sebagai pelaksana program BBM satu harga di Indonesia. Pertamina bisa menggandeng pihak ketiga dalam program ini, khususnya dalam membangun agen penyalur resmi. Sampai 2019, program BBM satu harga ditargetkan beroperasi di 150 daerah, khususnya di wilayah terpencil, terluar, dan terdepan.
Konsekuensi dari penunjukan tersebut, Pertamina harus menanggung ongkos pendistribusian BBM satu harga. Untuk wilayah Papua dan Kalimantan Utara saja ongkos distribusi BBM yang ditanggung Pertamina untuk program ini sekitar Rp 800 miliar per tahun.
Kendala lain adalah kesulitan mengurus izin pemerintah daerah di lokasi program BBM satu harga. Izin itu terkait izin prinsip, izin usaha, serta izin lain untuk membangun infrastruktur distribusi BBM. (APO/FLO/NDY)