Lonjakan harga bawang putih pada Mei 2017 segera mengirim sinyal bahwa ada hal yang tidak sinkron. Kenaikan harga lebih dari 70 persen dalam kurun waktu 3-4 bulan—ketika harga di negara asal cenderung turun—adalah sebuah anomali. Apalagi, berkisar 95-96 persen kebutuhan di dalam negeri masih dipenuhi bawang putih impor.
Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Kepolisian Negara RI bergerak untuk memastikan harga segera turun. Sebelum menggelar operasi pasar di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur, serta mengumpulkan dan meminta importir menurunkan harga dari Rp 57.000 per kilogram (kg) menjadi Rp 25.000-Rp 38.000 per kg, Badan Reserse Kriminal Polri menyegel gudang berisi 182 ton bawang putih milik PT TPI di Cilincing, Jakarta Utara. Langkah penyitaan itu dilakukan atas dugaan penimbunan oleh PT TPI.
Upaya lain, Kementan menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 16 Tahun 2017 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH), revisi atas Permentan No 86/2013 tentang RIPH. Dalam ketentuan yang baru, importir wajib memproduksi bawang putih di dalam negeri sebesar 5 persen dari kuota impor yang diizinkan dalam RIPH setahun.
Kewajiban baru bagi importir itu diharapkan meningkatkan daya saing bawang putih produksi dalam negeri. Pada saat yang sama, Kementan berupaya menggairahkan lagi komoditas bawang putih, terutama di daerah sentra seperti Temanggung dan Tegal (Jawa Tengah), Sembalun dan Bima (Nusa Tenggara Barat), serta Solok (Sumatera Barat).
Akan tetapi, upaya pengembangannya tidak mudah. Akibat bertahun-tahun tersingkir dari ladang petani, usaha mencari bibit pun menjadi sulit. Jika ada, jumlahnya tak seberapa. Akhirnya, selain menguji coba menanam benih impor, pemerintah berencana menyerap seluruh produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan bibit di tahun depan.
Dengan rata-rata konsumsi 1,6 kg per kapita per tahun dan asumsi jumlah penduduk 267 juta jiwa, kebutuhan bawang putih nasional sekitar 427.000 ton setahun. Dengan produktivitas 7 ton per hektar, diperlukan 61.000 hektar lahan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Angka ini kecil jika dibandingkan dengan luas tanam padi yang diklaim mencapai 14 juta hektar setahun.
Jika hanya berpatokan pada kebutuhan lahan tanam, hitung-hitungan swasembada di atas kertas jadi sangat gampang. Nyatanya, target swasembada sulit tercapai di masa lalu. Tujuh tahun terakhir, produksi bawang putih nasional tidak lebih dari 23.000 ton per tahun atau sekitar 5 persen dari kebutuhan setahun. Artinya, devisa tersedot keluar. Tahun lalu, volume impor mencapai 444.294 ton atau senilai 43,6 juta dollar AS.
Saat data itu disodorkan, sejumlah petani bawang putih di Guci dan Bojong, Tegal, Jawa Tengah, pekan lalu, menjawab enteng, ”Kuncinya gampang, beri petani jaminan harga, titik!”
Ketika harga jual terjamin, subsidi input produksi seperti pupuk, benih, atau obat jadi tidak berarti. Pesan para petani itu satu nada, ”Sekali dua kali rugi kadang bukan masalah, tetapi jika terus-menerus rugi dan tidak ada kepastian, petani akan ganti ke tanaman lain.”
Maka, ketika pemerintah menjamin bakal membeli seluruh hasil panen petani, setidaknya Rp 10.000 per kg, para petani di kaki Gunung Slamet itu bersukacita. Kontrak pengembangan antara 14 kelompok yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani Budi Luhur dan Balai Penelitian Tanaman Sayur Kementan sebenarnya hanya mencakup 15 hektar lahan. Namun, jaminan harga mendorong petani memperluas areal penanaman hingga 22 hektar.
Belajar dari pengalaman berulang-ulang: anjloknya harga saat panen menghancurkan jalan swasembada sekaligus motivasi petani. Apa pun komoditasnya. Karena itu, penting untuk menjaga asa petani. Sebab, hancurnya motivasi petani ialah bencana bagi ketahanan pangan. (MUKHAMAD KURNIAWAN)