Pemerintah menunda perluasan program bantuan pangan nontunai. Semula, bantuan pangan nontunai akan diperluas menjadi 10 juta keluarga penerima manfaat pada 2018. Dengan penundaan perluasan bantuan nontunai itu, program bantuan beras sejahtera masih berlanjut.
Presiden Joko Widodo mengatakan, penambahan jumlah penerima bantuan pangan nontunai tidak bisa dilakukan selama evaluasi basis data peserta belum selesai dilakukan (Kompas, 6/12). Maka, penambahan jumlah penerima bantuan pun ditunda sambil menunggu evaluasi kegiatan.
Pada 2017, program bantuan pangan nontunai (BPNT) dengan sistem kartu diuji coba dengan sebanyak 1,2 juta keluarga penerima manfaat. Adapun sisanya, kurang lebih 14 juta keluarga prasejahtera, masih dilayani dengan program bantuan beras untuk keluarga prasejahtera (rastra).
Permintaan Presiden tersebut wajar. Tentu, Presiden ingin tahu, sejauh mana implementasi atau pelaksanaan BPNT dapat berjalan di lapangan dengan tepat sasaran dan tepat waktu.
Bagaimanapun, program bantuan rastra saat ini setidaknya mencakup 15,5 juta keluarga prasejahtera atau masyarakat miskin. Dengan asumsi satu keluarga memiliki 4 anggota keluarga, berarti program rastra menjangkau lebih dari 60 juta orang.
Program BPNT dalam bentuk bantuan dana sebesar Rp 110.000 per keluarga penerima manfaat per bulan yang disalurkan melalui bank-bank pemerintah. Keluarga penerima manfaat kemudian dapat membeli beras di e-warong dengan sistem kartu.
Pertanyaannya, siapa yang menyediakan beras sampai di titik-titik distribusi atau e-warong, terutama di daerah terpencil? Apakah harga beras yang dijual untuk rakyat miskin bisa tetap terjangkau?
Dengan program BPNT, Perum Bulog tentu dapat saja ditunjuk untuk ikut berperan dalam distribusi. Namun, jika unsur subsidi beras dalam program BPNT dihilangkan, Perum Bulog harus menjual beras dengan harga pasar atau harga komersial agar dapat bersaing dengan pedagang.
Harga eceran tertinggi beras medium di Jawa Rp 9.450 per kilogram. Namun, jika kita asumsikan harga beras medium di pasaran Rp 10.000 per kilogram, maka dengan alokasi dana Rp 110.000 per bulan, keluarga penerima manfaat hanya dapat membeli beras sebanyak 11 kilogram.
Angka 11 kilogram ini lebih sedikit dari beras yang diterima dalam program rastra, yakni 15 kilogram per keluarga penerima manfaat per bulan. Untuk memenuhi kebutuhan 15 kilogram beras per bulan, keluarga penerima manfaat masih memerlukan tambahan 4 kilogram beras per bulan. Dengan demikian, diperlukan tambahan biaya Rp 40.000 per bulan untuk setiap keluarga penerima manfaat.
Sejauh mana pengeluaran Rp 40.000 per bulan tersebut berdampak pada penambahan pengeluaran masyarakat miskin?
Pertanyaan semacam ini harus dijawab. Dengan demikian, dapat diketahui sejauh mana manfaat bantuan dan basis data untuk program tersebut.
Oleh karena itu, implementasi program BPNT memang perlu dievaluasi. Banyak aspek yang perlu dievaluasi, selain masalah pendataan jumlah masyarakat miskin. Aspek yang perlu dievaluasi itu antara lain ketepatan sasaran, efisiensi pelaksanaan program di lapangan, dan manfaat bagi masyarakat penerima bantuan. (Ferry Santoso)