Momentum Jaga Ekspor dan Harga Pangan
Selama 2017, inflasi terjaga, terutama berkat pengendalian harga barang-barang yang mudah bergejolak. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi tahun kalender Januari- November 2017 sebesar 2,87 persen. Hingga akhir tahun ini, inflasi diperkirakan 3,1-3,2 persen atau di bawah target Bank Indonesia dan pemerintah, yakni 3-5 persen.
Salah satu faktor utama yang membuat inflasi terjaga rendah adalah pengendalian harga bahan pangan pokok. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag), mengintervensi pasar dengan menetapkan regulasi tentang harga eceran tertinggi (HET). Empat bahan pokok yang ditetapkan HET-nya adalah beras, gula pasir, minyak goreng, dan daging sapi.
HET beras ditetapkan berdasarkan wilayah dan jenisnya. Untuk beras medium di Jawa, misalnya, HET-nya Rp 9.450 per kilogram (kg). Selama Januari-November 2017 harga beras medium berkisar Rp 10.500-
Rp 11.000 per kg. Rentang harga itu kurang lebih sama dengan periode Januari-November 2016, yakni Rp 10.900 per kg.
Kemendag juga mendekati produsen dan pelaku usaha bahan pangan pokok. Mereka diajak duduk bersama untuk menentukan HET, transparansi stok di gudang, dan menjaga stabilitas harga pangan. Ketika harga bahan pangan tinggi, pemerintah dan Perum Bulog menggelar operasi pasar melalui jaringan pedagang di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta.
Pemerintah juga bekerja sama dengan Kepolisian Negara RI untuk mengawasi peredaran dan stok pangan dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pangan. Akan tetapi, penindakan yang dilakukan Satgas Pangan meresahkan pelaku usaha pangan, terutama yang bergerak di bidang perberasan. Hal itu terjadi karena pengetahuan personel satgas tentang pangan masih minim.
Menjelang akhir tahun ini, pemerintah khawatir dengan minimnya stok pangan di Bulog. Stok Bulog di tingkat nasional diperkirakan tinggal 700.000 ton. Padahal, stok ideal yang dimiliki Bulog mestinya 1,5 juta ton. Perhitungannya, selain kebutuhan beras untuk keluarga prasejahtera (rastra) selama tiga bulan, Desember 2017-Februari 2018, pemerintah perlu meningkatkan cadangan beras. Cadangan itu termasuk untuk keperluan mengintervensi harga melalui operasi pasar.
Sejak awal tahun hingga pekan pertama Desember 2017, Bulog hanya mampu merealisasikan 2,14 juta ton atau sekitar 57 persen dari target pengadaan 2017 yang sebanyak 3,74 juta ton. Pengadaan tidak bertambah signifikan kendati Bulog meningkatkan standar pembelian sebesar 10 persen sejak Agustus 2017. Hal itu terjadi karena ada dua hal, yaitu masih terbatasnya hasil panen dan Bulog kalah bersaing dengan pedagang.
Wakil Presiden Jusuf Kalla memandang perlu dilakukan evaluasi terhadap data persediaan beras dan penghitungan produksi. Apabila memang persediaan beras kurang memadai, opsi impor bisa saja dilakukan (Kompas, 13/12).
Namun, memasuki tahun politik 2018 dan 2019, impor diperkirakan akan menjadi hal yang tabu bagi pemerintah. Apalagi, ada klaim keberhasilan Kementerian Pertanian dalam meningkatkan produksi pangan. Meski demikian, ada pertanyaan yang mengganjal: jika benar produksi pangan meningkat, kenapa Bulog kesulitan menambah stok dan pedagang kekurangan beras medium di pasar?
Pada 2018, stabilitas harga dan stok pangan harus terus dijaga. Jika tidak dilakukan, maka inflasi akan kembali tinggi. Padahal, konsumsi masyarakat belum sepenuhnya pulih. BPS menyebutkan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat pada triwulan III-2017, yaitu sebesar 4,93 persen. Sebab pendapatan masyarakat kelas menengah ke bawah turun.
Tantangan ekspor
Di bidang perdagangan luar negeri, tahun ini ekspor menjadi salah satu sektor penyumbang pertumbuhan ekonomi terbesar. Pada triwulan III-2017, ekspor tumbuh 17,27 persen dengan nilai Rp 717,7 triliun atau 20,50 persen dari produk domestik bruto. Ekspor nonmigas tumbuh 20,51 persen, merupakan pertumbuhan tertinggi sejak 7 tahun lalu.
Meski demikian, pertumbuhan ekspor itu belum terlepas dari komoditas mentah, seperti minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan batubara. Ekspor juga masih ke negara-negara tujuan tradisional, terutama China, Amerika Serikat, dan Eropa. Dengan kata lain, ekspor Indonesia masih jalan di tempat.
Hilirisasi industri penopang ekspor dan substitusi bahan baku impor masih jauh dari optimal. Hilirisasi yang terlihat sekarang ini masih bertumpu pada sektor pertambangan melalui pengembangan industri pengolahan dan pemurnian (smelter).
Penetrasi pasar ekspor ke negara-negara nontradisional memang telah dilakukan, seperti ke Amerika Latin, Afrika, Timur Tengah, dan Eropa Timur. Di Afrika, pemerintah berupaya meningkatkan perdagangan dengan Afrika Selatan, Nigeria, dan Mesir. Adapun di Amerika Latin, pemerintah telah menyelesaikan Kesepakatan Kerja Sama Ekonomi Indonesia-Chile. Chile merupakan salah satu pintu masuk ke negara-negara di kawasan Amerika Latin. Namun, pembukaan pasar baru itu masih membutuhkan proses dan terganjal hambatan perdagangan.
Di tengah harga komoditas yang belum stabil dan pertumbuhan utang luar negeri, ekspor menjadi salah satu penopang devisa negara.
Pada semester I-2017, rasio utang luar negeri terhadap ekspor sebesar 174,08 persen dan rasio utang terhadap penerimaan devisa 172 persen. Rasio itu masuk kategori lampu kuning, karena sudah melebihi batas ideal 100 persen. Artinya, pada tahun depan, pemerintah benar-benar perlu mengoptimalkan ekspor untuk mengimbangi potensi kenaikan utang luar negeri RI.
Di era perdagangan secara elektronik atau e-dagang, Indonesia perlu memanfaatkannya secara optimal dan meminimalisasi dampaknya terhadap kepentingan nasional. E-dagang dapat menjadi peluang memasarkan produk-produk unggulan. Upaya ini telah dilakukan Indonesia yang bekerja sama dengan perusahaan e-dagang asal China, Alibaba.com.
Meski demikian, perlu dicermati masuknya produk-produk negara lain secara eceran melalui e-dagang. Jumlahnya kecil dan tidak banyak. Namun, jika dikumpulkan setiap tahun, bisa mencapai ratusan peti kemas.
Selama ini produk-produk yang dipasarkan melalui e-dagang belum dikenai bea masuk dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sehingga harganya lebih murah dari produk sejenis di dalam negeri. Hal ini berpotensi menggerus daya saing produk industri dan UKM dalam negeri.
Dalam Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia Ke-11 di Buenos Aires, Argentina, 10-13 Desember 2017, Indonesia menolak membebaskan bea masuk bagi barang-barang (fisik maupun digital) yang transaksinya melalui e-dagang. Indonesia hanya menyepakati pembebasan biaya jaringan transmisi elektronik barang-barang tersebut.
Realisasi hilirisasi, substitusi impor, pasar ekspor baru, dan antisipasi serbuan impor barang melalui e-dagang perlu dilakukan. Tanpa itu, ekspor Indonesia akan terus jalan di tempat. (HENDRIYO WIDI)