Tahun 2018, pemerintah menargetkan produksi garam naik dari 3,2 juta ton menjadi 4,1 juta ton. Penambahan target 1 juta ton produksi garam ini berlangsung di tengah iklim pasang surut produksi garam rakyat.
Produksi garam selama ini dikenal sangat fluktuatif bergantung pada cuaca. Jika masa produksi garam periode Juni-Desember diwarnai anomali cuaca, hasil panen dipastikan merosot, begitu pun sebaliknya. Pada 2016, misalnya, produksi garam anjlok menjadi 137.600 ton, hanya 4 persen dari target produksi 3 juta ton. Hal ini dipicu oleh musim kemarau basah hampir sepanjang tahun.
Pada 2014 dan 2015, hasil produksi garam masih cukup baik, berkisar 2,5 juta ton-2,91 juta ton. Namun, produksi garam yang berlimpah itu memicu persoalan baru. Petambak dihadapkan pada harga garam yang anjlok.
Hasil produksi garam tahun ini pun kembali tak menggembirakan. Hingga 29 November, hasil produksi garam dari 15 sentra garam rakyat dan BUMN, PT Garam, terdata sebanyak 1,3 juta ton, sedangkan target produksi tahun ini 3,2 juta ton.
Iklim dan cuaca yang tidak mendukung kembali disebut sebagai penyebab melesetnya target produksi. Namun, persoalan tidak sesederhana itu. Produksi garam rakyat yang berlangsung turun-temurun selama berabad-abad jauh sebelum Indonesia merdeka tidak cukup disimplifikasi hanya bergantung dari faktor cuaca.
Di atas kertas, potensi tambak garam saat ini berkisar 2,9 juta hektar (ha), tetapi luas tambak garam yang produktif hanya sekitar 2,6 juta ha. Ini berarti masih ada 300.000 ha lahan garam yang tidak produktif. Jika perhatian selama ini dipusatkan pada tambak produktif, sejauh mana terobosan teknologi telah diterapkan pada lahan-lahan produktif tersebut.
Teknologi
Berbagai metode peningkatan produksi garam telah digulirkan pemerintah antara lain teknologi ulir filter (TUF), geomembran atau geoisolator, dan lahan terintegrasi untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas garam. Ada pula teknologi prisma garam dan rumah garam yang diyakini memungkinkan produksi tetap berlangsung sekalipun cuaca hujan. Namun, penerapan teknologi itu belum optimal dan merata. Banyak petambak garam belum tersentuh dan memperoleh pendampingan cara produksi berbasis teknologi.
Di tengah pasang surut itu, petambak kini tengah menikmati ”bulan madu” hasil panen dengan harga garam yang sempat menyentuh Rp 4 juta per ton. Saat ini harga garam berkisar Rp 2,5 juta per ton, jauh lebih tinggi dibandingkan dua tahun lalu, sewaktu harga garam anjlok menyentuh Rp 300.000 per ton. Momentum harga yang bagus jangan sampai menjadikan petambak dan pemerintah terbuai, lupa menggenjot produktivitas dan mutu garam di masa produksi berikutnya.
Saatnya pengelolaan garam rakyat memasuki titik balik. Target besar produksi garam 2018 tidak bisa dicapai hanya dengan cara-cara biasa dan mengandalkan cuaca semata.
Himpunan Masyarakat Petambak Garam Jawa Timur mencatat, metode rumah garam menghasilkan garam kualitas satu, walaupun proses produksi dilakukan saat musim hujan. Biaya pembuatan rumah garam itu berkisar Rp 25 juta per petak tambak ukuran 8 x 15 meter persegi (m2). Namun, penerapannya memerlukan desain yang tepat, termasuk tempat air tua garam yang menampung sisa air tua di musim kemarau untuk digunakan lagi pada produksi saat musim hujan.
Di sisi lain, lahan-lahan garam yang tidak produktif perlu dihidupkan kembali. Ekstensifikasi lahan garam mutlak diperlukan. Infrastruktur lahan tambak garam juga harus dimaksimalkan melalui perbaikan saluran irigasi, dan integrasi lahan. Tak kalah pentingnya, diperlukan pembenahan tata niaga garam untuk mencegah fluktuasi harga dan ketidakpastian usaha. (BM Lukita Grahadyarini)