Optimisme di Tengah Tantangan
Laporan Organisasi Pengembangan Industri Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIDO) pada 2017 menunjukkan, Indonesia ada di posisi 9 bersama Brasil dan Inggris. Pada 1990, Indonesia ada di posisi 18.
United Nations Statistics Division pada 2016 menempatkan Indonesia, sebagai negara dengan kontribusi sektor industri 22 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) tahun 2015, di posisi 4. Kontribusi sektor industri Indonesia terhadap PDB hanya kalah dari negara-negara industri maju, seperti Korea Selatan (29 persen), China (27 persen), dan Jerman (23 persen).
Sementara itu, laporan Forum Ekonomi Dunia (WEF) terkait Indeks Daya Saing Global 2017-2018 memperlihatkan daya saing nasional tahun ini di posisi ke-36 dari 137 negara. Posisi ini naik 5 peringkat dari tahun-tahun sebelumnya.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai peningkatan daya saing di kancah global tersebut mengindikasikan produk-produk industri nasional yang semakin kompetitif, baik di pasar domestik maupun ekspor.
Tak ada salahnya mengapresiasi pencapaian sebagai pembangkit semangat pelaku industri dalam negeri. Namun, penting kiranya agar semua pemangku kepentingan jangan sampai terbuai, apalagi terlena, di era kompetisi yang kian ketat.
Masih ada tantangan bagi sektor industri dalam negeri untuk meningkatkan pertumbuhan dan kontribusi bagi PDB. Tak bisa dimungkiri, sektor industri masih menjadi roda penggerak utama pertumbuhan ekonomi RI.
Hal ini tidak lepas dari peranan dan dampak berganda sektor industri. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), industri pengolahan nonmigas pada triwulan III-2017 tumbuh 5,49 persen atau di atas pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,06 persen. Sektor ini menjadi kontributor terbesar, yakni 17,76 persen terhadap PDB nasional.
Subsektor industri yang hingga triwulan III-2017, termasuk kategori tumbuh tinggi adalah industri logam dasar yang tumbuh 10,6 persen; industri makanan dan minuman (9,49 persen); industri mesin dan perlengkapan (6,35 persen); industri alat angkutan (5,63 persen); serta industri farmasi dan obat tradisional (4,46 persen).
Sektor industri pengolahan per Agustus 2017 menyerap tenaga kerja 17,01 juta orang atau lebih banyak dari periode 2016 yang 15,54 juta. Ada asa perkembangan investasi di sektor industri akan menjadi salah satu solusi menekan tingkat pengangguran.
Di sisi lain, sejumlah tantangan masih dihadapi dalam ikhtiar meningkatkan daya saing dan nilai tambah industri dalam negeri. Asosiasi Pengusaha Indonesia, misalnya, mencermati kebijakan kementerian yang kontradiktif serta bertentangan dengan semangat penyederhanaan regulasi. Hal semacam ini dinilai berpotensi menghambat kinerja dunia usaha pada 2018.
Sementara itu, Kamar Dagang dan Industri Indonesia mencatat beberapa hal yang harus diupayakan untuk membangun industri berkelanjutan. Hal-hal itu mencakup jaminan ketersediaan bahan baku dan pasokan energi yang kompetitif serta pendalaman struktur industri. Ada juga soal keberpihakan pemerintah dalam mendukung tingkat kandungan dalam negeri serta peningkatan mutu sumber daya manusia (SDM) sesuai kebutuhan industri.
Sebagai salah satu upaya menyediakan SDM sesuai kebutuhan industri, Kemenperin memprogramkan pendidikan vokasi. Program ini berkonsep keterkaitan dan kecocokan antara sekolah menengah kejuruan (SMK) dengan industri. Sejak dimulai pada Februari 2017 hingga Oktober 2017, sudah ada empat tahap program yang melibatkan 565 industri dan 1.795 SMK.
Tantangan
Sebagai pembina sektor industri, Kemenperin memetakan tantangan lain di sektor industri. Tantangan itu, di antaranya tidak tersedianya energi sesuai kebutuhan industri dan ketergantungan terhadap bahan baku impor yang masih tinggi.
Menurut BPS, impor bahan baku/penolong pada Januari-November 2017 sebesar 106,705 miliar dollar AS. Nilai itu setara 75,21 persen dari total impor nasional yang mencapai 141,881 miliar dollar AS.
Tantangan lain adalah ketersediaan sarana dan prasarana industri yang belum memadai serta kurang tersedianya SDM sesuai kebutuhan industri. Dukungan pembiayaan bagi sektor industri juga dinilai belum tinggi, serta tingkat kesiapterapan teknologi yang masih rendah.
Perhatian dan kesadaran pelaku usaha dan pemerintah mengenai tantangan itu harus menjadi titik awal penyikapan yang tepat. Kemampuan mengelola diri menghadapi tantangan menjadi bekal menggarap peluang.
Indonesia, sebagai pasar yang besar, menjadi basis penting bagi perkembangan aktivitas ekonomi digital. Fakta bahwa laman belanja masih didominasi produk impor menjadi pengingat, pengembangan e-dagang juga harus sejalan dengan pengembangan industri untuk mengisi pasar. Penyiapan talenta atau sumber daya manusia di area tersebut menjadi keniscayaan.
Adapun tentang revolusi industri 4.0, sektor industri di Indonesia yang dinilai siap masuk ke dalamnya adalah industri semen, petrokimia, otomotif, serta industri makanan dan minuman. Perkembangan teknologi tak pelak harus diikuti karena berpengaruh terhadap dinamika sektor industri yang menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi negeri ini.
(C Anto Saptowalyono)