JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dipandang belum optimal melaksanakan program 1.000 desa mandiri benih dan pertanian organik. Keduanya merupakan sebagian sasaran nawacita yang ingin diraih pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam kurun 2014-2019.
Hal ini mengemuka dalam paparan akhir tahun Serikat Petani Indonesia (SPI), di Jakarta, Rabu (27/12). Ketua Departemen Luar Negeri Badan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia (SPI) Zainal Arifin Fuad menyampaikan, pemerintah terlihat enggan melaksanakan program 1.000 desa mandiri benih dan 1.000 desa pertanian organik. Hal itu tecermin dari masih tingginya alokasi anggaran untuk subsidi benih dan pupuk anorganik.
Subsidi benih dalam APBN terus naik tiga tahun terakhir, yakni dari Rp 0,1 triliun (2015), menjadi Rp 0,4 triliun (2016), dan Rp 1,3 triliun (2017)
Selain badan usaha milik negara, benih subsidi diproduksi oleh swasta, termasuk perusahaan multinasional. Subsidi juga dianggarkan untuk pupuk kimia, seperti urea, SP-36, dan NPK.
”Tujuan nawacita ini adalah untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor domestik strategis, termasuk benih dan pupuk, petani semestinya didorong untuk memproduksi sendiri sesuai kebutuhan lingkungan setempat. Bukan sekadar ikut bekerja memperbanyak benih komersial atau menerima bantuan/subsidi,” ujar Zainal.
Tujuan nawacita ini adalah untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor domestik strategis, termasuk benih dan pupuk.
Pendapat senada disampaikan sejumlah petani pembenih anggota Asosiasi Bank Benih dan Tani Indonesia (AB2TI) dalam Rembuk Nasional 2017 Bidang Pangan. Pembenih padi anggota AB2TI Masroni berpendapat, ketimbang melanggengkan subsidi benih yang mencapai triliunan rupiah setiap tahun, pemerintah lebih baik membina petani pemulia, pembenih, dan penangkar untuk mengembangkan benih lokal.
Dongkrak produksi
Sementara subsidi benih terus meningkat, subsidi pupuk berfluktuasi, dari Rp 31,3 triliun pada 2015, menjadi Rp 26,9 triliun pada 2016, dan Rp 31,2 triliun pada 2017. Angka itu jauh lebih besar dibandingkan tiga tahun sebelumnya, yakni Rp 14 triliun (2012), Rp 17,6 triliun (2013), dan Rp 21 triliun (2014).
Kementerian Pertanian menilai subsidi benih, pupuk, serta bantuan mekanisasi masih dibutuhkan petani. Subsidi juga dinilai turut mendongkrak produksi dan produktivitas tanaman pangan, seperti padi yang naik dari 75,4 juta ton gabah kering giling (GKG) pada 2015, menjadi 79,4 juta ton pada 2016, dan tahun ini diperkirakan mencapai 81,3
juta ton. Sementara produksi jagung naik dari 19,6 juta ton pada 2015 menjadi 23,6 juta ton pada 2016.
Akan tetapi, subsidi tak mulus dalam pelaksanaannya. Hasil kajian kebijakan subsidi bidang pertanian oleh Direktorat Penelitan dan Pengembangan Deputi Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, selain penyerapannya belum optimal, subsidi dan bantuan benih tumpang-tindih. Benih bersubsidi, misalnya, merupakan program pemerintah pusat yang penanggung jawab dan penyalurannya dilaksanakan oleh badan usaha milik negara. Sementara program bantuan langsung benih unggul (BLBU) menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
Benih BLBU sepenuhnya gratis, sementara benih bersubsidi tetap berbayar, meskipun lebih murah dibandingkan harga benih komersial. KPK menilai dualisme itu berisiko membuat penyaluran subsidi jadi tak efektif dan efisien. (MKN)