JAKARTA, KOMPAS — Jumlah dan kualitas kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan perlu ditingkatkan. Hal ini bertujuan untuk mendukung hasil investasi dana kelolaan yang lebih maksimal.
Koordinator Advokasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Watch Timboel Siregar mengatakan hal tersebut, Kamis (28/12), di Jakarta. Dia mencontohkan beberapa situasi yang membuat jumlah ataupun kualitas kepesertaan program jaminan sosial belum optimal. Pertama, pengusaha mikro dan kecil mendominasi struktur usaha di Indonesia. Upah pekerja mereka di bawah minimum sehingga menyulitkan mendaftar sebagai peserta jaminan sosial ketenagakerjaan.
Selain itu, terdapat peserta yang tidak aktif membayar iuran dan tidak mendapat tindakan tegas. Jumlah peserta bukan penerima upah (PBPU) saat ini masih sekitar 1 juta. Ada pula kasus pencairan dana jaminan sosial hari tua (JHT) oleh pekerja.
Pada 2016, total hasil investasi jaminan sosial sekitar Rp 20 triliun dengan dana kelolaan sekitar Rp 210 triliun. Imbal hasil (yield of investment/YOI) tercatat sekitar 9,52 persen. Per November 2017, dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan telah mencapai Rp 305 triliun. Nilai ini melampaui target rencana kerja dan anggaran tahunan 2017 sebesar Rp 296,9 triliun. Dana kelolaan sebesar Rp 305 triliun itu memberikan hasil investasi Rp 24,5 triliun. YOI per November 2017 mencapai 9,49 persen.
Timboel mengatakan, ruang gerak BPJS Ketenagakerjaan untuk menginvestasikan dana kelolaan terbatas. Hal ini disebabkan peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1 Tahun 2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Nonbank mewajibkan minimal 50 persen dana kelolaan dibelikan surat berharga negara.
Menurut Timboel, imbal hasil investasi BPJS Ketenagakerjaan relatif baik. Untuk lebih meningkatkan dana kelolaan dan imbal hasilnya, kualitas kepesertaan perlu dijaga. Timboel mencontohkan manfaat layanan yang bisa ditambahkan, misalnya berupa fasilitas kredit pemilikan rumah.
Secara terpisah, BPJS Ketenagakerjaan melakukan pertemuan dengan Pemerintah Jepang yang diwakili Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) dan Federasi Sharoushi. Pertemuan di Tokyo kemarin itu membahas evaluasi pelaksanaan Penggerak Jaminan Sosial Indonesia (Perisai). Perisai adalah program keagenan BPJS Ketenagakerjaan yang mengadopsi sistem Sharoushi.
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto dalam keterangan pers mengatakan, uji coba Perisai dilakukan sejak Oktober 2016 sampai Juni 2017 di 10 provinsi. Kini, Perisai sudah menjangkau 34 provinsi.
Menurut Agus, jumlah tenaga kerja yang berpotensi menjadi peserta jaminan sosial ketenagakerjaan mencapai 86 juta orang. Hingga saat ini, sekitar 47 juta orang di antaranya telah terdaftar sebagai peserta. Sekitar 25,4 juta dari 47 juta peserta itu tercatat aktif mengiur. (MED)