Napas Panjang Membangun Prasarana
Namun, fokus pembangunan infrastruktur masih dihadapkan pada tantangan yang sama sedari awal. Tantangan pertama adalah pembiayaan untuk memenuhi berbagai target pembangunan infrastruktur yang dicanangkan. Terkait dengan itu, upaya agar sektor swasta semakin terlibat di dalam berbagai proyek infrastruktur menjadi tantangan berikutnya.
Perlu dibangun pula konsistensi untuk tetap fokus menyelesaikan berbagai target hingga 2019. Tantangan terakhir yang mendasar adalah antisipasi dan strategi agar berbagai proyek infrastruktur tidak memperlebar kesenjangan ekonomi, tetapi mampu menarik mereka yang di bawah untuk mengatasi ketertinggalan.
Indeks Daya Saing Global mencatat perbaikan indeks daya saing Indonesia. Pada 2015-2016, indeks daya saing Indonesia berada di peringkat ke-37. Tahun berikutnya, 2016-2017, indeks daya saing Indonesia melorot ke peringkat ke-41. Terakhir, untuk 2017-2018, indeks daya saing Indonesia mulai membaik, berada di peringkat ke-36.
Peningkatan yang lebih signifikan terjadi pada indeks daya saing infrastruktur Indonesia. Pada 2015-2016, indeks daya saing infrastruktur Indonesia berada di peringkat ke-62. Setahun berikutnya naik ke peringkat ke-60. Terakhir, pada 2017-2018, indeks daya saing infrastruktur Indonesia makin membaik, berada di peringkat ke-52.
Pencapaian yang menonjol antara lain terlihat pada beberapa proyek jalan tol. Proyek dengan skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) ini mulai beroperasi satu demi satu. Pada 2015, 153 kilometer (km) jalan tol beroperasi. Tahun 2016 hanya 59 km jalan tol baru beroperasi. Tahun ini diperhitungkan 381 km tol akan beroperasi. Tahun 2018, tol Trans- Jawa sampai Surabaya ditargetkan tersambung. Tahun 2019, tol ini akan tersambung hingga Banyuwangi.
Meski demikian, hasil yang sudah didapat tersebut bukanlah puncak pencapaian dan menjadi alasan berpuas diri. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mencatat, ketersediaan infrastruktur Indonesia masih rendah. Persentase ketersediaan infrastruktur terhadap produk domestik bruto (PDB) di Indonesia justru menurun jika dibandingkan tahun 1990-an.
Pada 2012 tercatat persentase ketersediaan infrastruktur terhadap PDB hanya sekitar 38 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan 1995 yang malah mencapai 49 persen. Sebagai perbandingan, persentase ketersediaan infrastruktur di India 58 persen dan China 76 persen. Angka ketersediaan infrastruktur setelah tiga tahun percepatan pembangunan ini diharapkan akan membaik.
Di sisi lain, untuk membangun infrastruktur, Indonesia memerlukan dana yang sangat besar. Program pembangunan infrastruktur antara 2015 hingga 2019 memerlukan dana setidaknya Rp 4.796 triliun. Dari jumlah itu, dana pemerintah pusat ataupun daerah hanya mencakup 41,3 persen atau sekitar Rp 1.482 triliun. Adapun pendanaan dari badan usaha milik negara diperkirakan Rp 799 triliun atau 22,2 persen. Sisanya, 36,5 persen, perlu berasal dari swasta.
Namun, mengajak sektor swasta untuk masuk ke proyek infrastruktur juga tidak mudah. Sebab, tidak semua proyek infrastruktur layak secara finansial. Selain itu, sebagian besar infrastruktur yang diperlukan adalah infrastruktur dasar.
Jika ingin swasta terlibat, perlu dibuat struktur pembiayaan yang menarik dengan pembagian risiko terukur, termasuk jaminan dari pemerintah untuk mengantisipasi perubahan
kebijakan akibat pergantian pimpinan.
Di sisi lain, proyek infrastruktur juga memerlukan napas panjang dari investornya. Di proyek jalan tol, misalnya, rata-rata investasi yang ditanamkan baru bisa kembali setelah 10 tahun. Belum lagi adanya risiko proyek molor karena pembebasan lahan. Namun, untuk yang terakhir, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 berhasil mempercepat proses pembebasan lahan. Hal ini dilakukan melalui koordinasi antarinstansi serta pendanaan untuk lahan melalui mekanisme talangan. Tidak hanya untuk tol, mekanisme talangan juga diadopsi untuk pembebasan lahan bendungan.
Ketersediaan
Angka ketersediaan infrastruktur yang rendah terjadi di banyak sektor, antara lain transportasi, energi, telekomunikasi, dan industri. Sementara kebutuhan terus meningkat secara alamiah seiring dengan pertambahan penduduk. Tanpa infrastruktur yang memadai, investor akan berpikir ulang untuk menanamkan modal. Produktivitas masyarakat pun memerlukan dukungan infrastruktur.
Ketika dana pemerintah tidak cukup, pilihan logisnya adalah melibatkan swasta. Adapun anggaran pemerintah bisa lebih dialokasikan untuk membangun konektivitas di kawasan Indonesia timur yang selama ini minim sentuhan pembangunan.
Sementara masyarakat di Jawa bisa memilih menggunakan tol, dana yang biasanya habis untuk memperbaiki jalan di Jawa dapat dialihkan ke luar Jawa, seperti Trans-Papua. Harapannya, jika keterhubungan di kawasan luar Jawa membaik, harga barang, bahan bakar, atau komoditas lainnya dapat berangsur normal atau sama dengan harga di pulau lainnya.
Pengadaan infrastruktur memerlukan waktu panjang yang mungkin melebihi satu periode kepemimpinan seorang presiden. Bendungan, misalnya, memerlukan waktu 3-4 tahun untuk dibangun. Demikian pula jalan tol, perlu setidaknya 1-2 tahun per ruas. Namun, infrastruktur mesti dibangun karena menjadi pengungkit sendi-sendi perekonomian yang lain.
Konektivitas yang baik akan memacu produktivitas masyarakat. Di sini, kepala daerah berperan penting untuk melihat peluang agar infrastruktur yang hadir dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi seluruh lapisan masyarakat. Kekhawatiran menurunnya ekonomi di suatu subsektor akibat jalan tol, misalnya, mesti diimbangi dengan mencari peluang di sektor lain yang menjadi potensi daerah dan akan terdorong dengan keberadaan infrastruktur.
Pada akhirnya, pembangunan tidak sekadar untuk mengatasi ketertinggalan ketersediaan infrastruktur, tetapi juga meningkatkan daya saing. ”Kini rakyat Indonesia memiliki ekspektasi yang lebih tinggi atas layanan infrastruktur yang lebih berkualitas,” kata Presiden Joko Widodo. (Norbertus Arya Dwiangga)