Benarkah perdagangan secara elektronik atau e-dagang mematikan sektor ritel dan menyebabkan banyak penganggur? Pertanyaan itu yang dijawab The New York Times dalam analisis tentang ”How the Growth of E-Commerce is Shifting Retail Jobs” pada Juli 2017.
Disebutkan, lapangan kerja sektor ritel konvensional datar dan cenderung turun, sedangkan lapangan kerja e-dagang tumbuh signifikan. Pertumbuhan e-dagang itu juga memunculkan peralihan pola dan jenis pekerjaan di sektor ritel.
Dalam 15 tahun terakhir, lapangan kerja pada sektor e-dagang di Amerika Serikat (AS) tumbuh dua kali lipat. Kemudian diikuti pertumbuhan lapangan kerja sektor pergudangan yang menjadi penopang e-dagang. Namun, tidak diikuti dengan industri ritel secara konvensional dan toko serba ada.
Menurut catatan Biro Statistik Tenaga Kerja AS, lapangan kerja sektor e-dagang tumbuh 334 persen dan sektor pergudangan 80 persen. Adapun industri ritel secara keseluruhan jalan di tempat. Sementara lapangan kerja toko serba ada justru turun 25 persen.
Kendati tumbuh cepat, jumlah lapangan kerja e-dagang yang terserap masih lebih kecil dibandingkan dengan sektor pergudangan dan industri ritel konvensional. Dalam 15 tahun terakhir, sektor pergudangan menyerap 841.000 pekerjaan, industri ritel 645.000 pekerjaan, dan e-dagang 178.000 pekerjaan. Namun, toko serba ada kehilangan 448.000 pekerjaan.
Penelitian itu menyebutkan, peritel yang bergerak di sektor e-dagang dapat menjual lebih banyak produk dengan lebih sedikit pekerja daripada peritel konvensional. Kurang lebih tiga perempat perusahaan e-dagang di AS memiliki empat atau lebih karyawan. Perusahaan e-dagang membayar upah rata-rata yang lebih tinggi kepada pekerjanya, tetapi dampaknya lebih besar terhadap penjualan eceran daripada pekerjaan ritel.
Tidak mengherankan jika Kepala Strategi Ekonomi pada Institut Kebijakan Progresif di Washington, AS, Michael Mandel, berpandangan lain tentang dampak e-dagang terhadap lapangan kerja. Menurut dia, e-dagang menumbuhkan lapangan kerja baru dengan gaji yang lebih besar ketimbang ritel konvensional.
Mandel menyisir statistik pekerjaan per wilayah di AS pada Desember 2007-Mei 2017, yakni e-dagang menciptakan 397.000 pekerjaan di AS. Adapun industri ritel konvensional kehilangan 76.000 pekerjaan. Hal itu terjadi karena e-dagang menumbuhkan lapangan kerja di sektor-sektor lain, seperti pergudangan, logistik, bahkan sektor informal, seperti usaha skala rumah tangga dan usaha kecil menengah. Mandel juga menyebutkan, perusahaan e-dagang membayar tenaga kerjanya sekitar 30 persen lebih tinggi ketimbang ritel konvensional.
Bagaimana dengan di Indonesia? Belum ada penelitian serupa yang mengorelasikan antara pertumbuhan e-dagang dengan lapangan kerja. Namun, pola berbelanja masyarakat Indonesia mulai berubah. Masyarakat mulai memadukan belanja konvensional dengan belanja secara dalam jaringan.
Sejumlah perusahaan ritel melakukan strategi berbeda dengan menutup tokonya. Pada Juni 2017, PT Modern Sevel Indonesia menutup seluruh gerai 7-Eleven di Indonesia. Pada Agustus 2017, PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk menutup delapan pasar swalayannya. Kemudian, PT Mitra Adiperkasa Tbk menutup gerai Lotus.
Memang hal itu tidak sepenuhnya akibat pertumbuhan e-dagang. Berbagai faktor juga memengaruhi, di antaranya konsumsi masyarakat, kondisi dan tata kelola perusahaan, serta persaingan bisnis antar-ritel konvensional. Ritel konvensional juga bertahan dengan mengadopsi e-dagang dan gaya hidup. Nilai transaksi e-dagang di Indonesia tahun ini diperkirakan Rp 146 triliun atau meningkat 215,34 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 67,8 triliun.
Harus disadari, Indonesia masih didominasi tenaga kerja sektor informal. Maraknya e-dagang bisa jadi berdampak positif karena memunculkan sektor lapangan kerja baru. Di sisi lain, e-dagang menggerus lapangan kerja di ritel konvensional. Jika benar analisis Mandel, sejauh mana para pekerja berpendidikan rendah di Indonesia dapat menempati lapangan kerja di sektor e-dagang dan sektor-sektor turunannya? (HENDRIYO WIDI)