Properti untuk Milenial
Meningkatnya populasi penduduk dan ditambah keterbatasan lahan perkotaan menciptakan pasar properti yang tidak adil, seperti harga tanah semakin mahal. Dampaknya terasa ke semua generasi angkatan kerja, tak terkecuali milenial atau mereka yang lahir dari era 1980-an hingga 1999.
Perkotaan kian menjadi tujuan tempat tinggal. Menurut data Bank Dunia, sekitar 52 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan pada 2014. Masyarakat yang menghuni perkotaan diperkirakan naik menjadi sekitar 68 persen pada 2025. Kota-kota di Indonesia tumbuh rata-rata 4,1 persen per tahun. Ini dianggap lebih cepat dibandingkan dengan kota-kota di negara Asia lainnya (Kompas, 15/6/2016).
Bertumbuhnya generasi milenial tentunya tak terlepas dari kebutuhan tempat tinggal. Apalagi, diprediksi pada 2025 sebanyak 75 persen angkatan kerja dunia dikuasai generasi milenial. Upaya membidik pasar milenial adalah peluang menggairahkan properti.
Namun, kesulitan menjangkau rumah tidak hanya menjadi problem generasi milenial di perkotaan Jawa, atau khususnya DKI Jakarta, tetapi juga wilayah lain. Salah satunya, Bali. Di Bali, harga tanah semakin tidak masuk akal. Lahan dengan luas di bawah 150 meter persegi di dalam kota Bali sudah sulit ditemukan dan kalaupun ada, harganya sangat mahal bagi masyarakat lokal.
Tidak ingin terjebak dalam pemikiran generasi milenial kesulitan memenuhi kebutuhan rumah, sejumlah arsitek muda yang tergabung dalam Indonesian Young Architects (IYA) Bali dan ruang kreatif Uma Seminyak Bali melahirkan pameran ”1 Are: A Living Space for Bali’s Millenials” pada 28 Oktober-12 November 2017. Sebanyak 40 arsitek muda berlatar belakang arsitektur dari universitas dalam dan luar negeri berpartisipasi dalam pameran.
”Kami malah berpikir apa yang bisa dilakukan arsitek muda, milenial khususnya, untuk mengatasi persoalan,” ujar organizer IYA Bali, Widiadnyana, yang akrab disapa Widi.
Sejak permasalahan pertumbuhan populasi meningkat tajam, para arsitek di seluruh dunia sudah sering melakukan penelitian, diskusi, dan uji coba terkait desain rumah mikro (micro house). Namun, kajian desain ini belum dapat diterima utuh karena setiap daerah memiliki tradisi kebudayaan serta persoalan berbeda.
Di Bali, kalangan masyarakat mengenal konsep ”satu are” untuk menunjuk 100 meter persegi. Mereka memaknainya sebagai unit yang berlaku di ”Pulau Dewata” itu sebagai skala memahami ukuran saat membeli tanah. ”Satu are” juga bisa dipahami sebagai cara mendidik masyarakat memaksimalkan lahan dengan desain. Tradisi itu masih tetap relevan dengan kondisi sekarang.
Konsep itu pula yang melatari para arsitek muda itu mengangkat desain bangunan untuk ukuran lahan 100 meter persegi sesuai tradisi Bali ”satu are”. Mereka tidak lupa menyisipkan kekhasan arsitek Bali serta gagasan hunian hijau.
Sebagai contoh, The Island House karya Nyoman Mada dan Rachel Zane dari Casa Studio Bali. Untuk mengatasi keterbatasan lahan, sirkulasi udara, dan pencahayaan, keduanya merancang ruang area terbuka di lantai dasar. Dapur terletak di barat daya sesuai kepercayaan Hindu. Lantai atas dipakai untuk aktivitas pribadi. Keseluruhan gaya desain Mediterania digabungkan dengan khazanah Sanur, Bali.
Contoh lain adalah compact size house karya Studio Kayoe Djati. Desain rumah ini terdiri dua lantai, memaksimalkan pencahayaan natural, sirkulasi udara, dan memakai tanaman tertentu. Di lantai satu rumah terdapat kolam ikan untuk menandakan berkah air, dapur sebagai simbol api, dan ruang doa.
Studio Umah Baskara menampilkan desain hunian di Jalan Raya Sesetan, Bali. Desain ini diperuntukkan bagi klien yang berprofesi sebagai koki dan bloger makanan. Umah Baskara lebih banyak menampilkan ruang terbuka (open space), sirkulasi udara alami, dan pencahayaan natural.
”Saat ini, pemahaman masyarakat Bali terhadap konsep rumah mikro atau compact size house masih minim. Saya optimistis, seiring waktu berjalan konsep itu akan gampang diterima sebagai solusi atas masalah kepadatan populasi penduduk dan keterbatasan lahan,” kata Widi yang juga tergabung dalam Somia Design Studio.
Widi berpendapat, ada karakter khusus yang disukai manusia milenial, yakni menyukai tren. Penawaran rumah dengan spesifikasi harga murah kemungkinan besar diterima kaum milenial, tetapi tak jarang mereka lantas membongkar ulang. Akibatnya, ongkos yang harus dikeluarkan membengkak.
Ikut tren
Untuk itulah, desain hunian berkembang mengikuti tren. Untuk tren rumah bagi milenial, rancangannya harus bisa mendukung aktivitas, seperti terdapat spot ruang untuk menunjang bekerja, beristirahat, bersosialisasi, dan tentunya ekonomis. Ini menjadi tantangan bagi arsitek untuk merancang desain yang menjadi jalan keluar mengatasi lahan minim, isu lingkungan, dan kompleksitas kebutuhan manusia di dalam rumah.
Nilai rumah yang cocok memenuhi kebutuhan milenial sangat subyektif sesuai faktor harga tanah, kerumitan, penggunaan material bangunan, dan pihak yang terlibat membangun. Latar belakang dan gaya hidup milenial juga memengaruhi rumah yang dijangkau.
”Dibuat spesifikasi harga rumah, pasti akan dibongkar lagi, atau ada saja yang diubah. Ujung-ujungnya jadi mahal juga. Mungkin tergantung gaya hidup manusia milenial itu yang akan memengaruhi mahal dan murahnya rumah,” katanya.
Agar rumah dibangun dengan desain ekonomis, Widi menyarankan, pembangunan rumah dilakukan dengan cara swakelola. Artinya, orang tidak perlu memakai jasa kontraktor dan lebih mengandalkan tenaga ahli tukang bangunan langsung. Selain itu, berkomunikasi dengan baik dan tidak banyak intervensi desain yang ditawarkan arsitek sehingga tercipta efisiensi.
”Cukup ceritakan ruangan yang diinginkan dan kemampuan anggaran,” katanya.
Dia mengaku sering berbincang dengan sesama arsitek muda di DKI Jakarta, Bandung, ataupun kota lain. Dari hasil obrolan tersebut, permintaan merancang bangunan dari generasi milenial memang tergolong cukup tinggi. Namun, permintaan itu mayoritas bukan untuk hunian tempat tinggal, melainkan juga gedung atau ruang usaha komersial.
Kini, proyek properti dengan membidik pasar milenial kian dilirik pengembang. Properti untuk milenial antara lain digarap pengembang PT Metropolitan Land Tbk (Metland). Pengembang yang banyak menggarap proyek perumahan skala menengah bawah ini merancang properti komersial pada kawasan hunian dengan menyasar generasi milenial.
Direktur Metland Olivia Surodjo mengemukakan, salah satu proyek yang akan dikembangkan untuk membidik pasar generasi milenial adalah Metland Millennial City di Cibitung. Kompleks properti campuran (mixed use) itu memadukan areal komersial di kawasan hunian, dengan akses yang dekat dengan stasiun kereta.
Ia mengemukakan, fitur-fitur properti akan disesuaikan dengan cara milenial berpikir. Ini sejalan dengan tipikal konsumen yang secara usia merupakan generasi milenial. ”Saatnya menyasar generasi milenial,” ujar Olivia. (LKT)