Faktor yang berkontribusi besar terhadap kemiskinan ini masih didominasi bahan makanan, yakni sebesar 73,35 persen. Ironinya, perdesaan yang menjadi sentra produksi bahan makanan justru lebih didera kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sebanyak 16,31 juta penduduk miskin berada di perdesaan, 10,27 juta lainnya tinggal di perkotaan.
Kepala BPS Suhariyanto di Jakarta, Selasa (2/1), mengatakan, penurunan jumlah penduduk miskin itu disebabkan terjaganya laju inflasi selama Maret-September 2017, yaitu 1,14 persen. Pada periode itu laju pertumbuhan harga komoditas pangan cukup terkendali sehingga membantu daya beli masyarakat.
”Faktor lainnya adalah terjadinya kenaikan upah nominal harian buruh tani dan bangunan masing-masing sebesar 1,5 persen dan 0,78 persen,” katanya.
Kendati begitu, lanjut Suhariyanto, bahan makanan tetap berkontribusi besar terhadap kemiskinan di Indonesia dibandingkan dengan perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Garis kemiskinan naik sebesar 3,39 persen, dari Rp 374,478 per kapita per bulan pada Maret 2017 menjadi Rp 387,160 per kapita per bulan pada September 2017.
Kontribusi bahan makanan terhadap garis kemiskinan pada September 2017 sebesar 73,35 persen. Kondisi itu tidak jauh berbeda dengan kondisi Maret 2017 yang sebesar 73,31 persen.
”Komoditas yang berpengaruh besar terhadap garis kemiskinan Maret-September 2017 antara lain beras, rokok, daging sapi, telur ayam ras, dan daging ayam ras. Kontribusi masing-masing komoditas itu turun,” tuturnya.
Suhariyanto mencontohkan, beras, misalnya, pada September 2017, di perkotaan dan perdesaan kontribusinya masing-masing sebesar 18,8 persen dan 24,52 persen. Adapun pada Maret 2017, kontribusinya di wilayah perkotaan dan perdesaan masing-masing sebesar 20,11 persen dan 26,46 persen.
BPS juga mencatat, indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan turun. Indeks kedalaman kemiskinan turun dari 1,83 pada Maret 2017 menjadi 1,79 pada September 2017. Sementara indeks keparahan kemiskinan turun dari 0,48 pada Maret 2017 menjadi 0,46 pada September 2017.
Rasio gini
Selain itu, BPS juga menyebutkan, ketimpangan pengeluaran penduduk (rasio gini) pada September 2017 sebesar 0,391. Rasio gini itu hanya turun 0,002 poin dibandingkan rasio gini Maret 2017 dan turun 0,003 poin dibandingkan September 2016. Ketimpangan pengeluaran penduduk di daerah perkotaan lebih besar ketimbang di perdesaan.
Rasio gini di perkotaan pada September 2017 sebesar 0,404. Adapun rasio gini di perdesaan pada September 2017 sebesar 0,320 persen. ”Rasio gini itu turun tipis. Hal itu menunjukkan ada upaya dari pemerintah menurunkan rasio gini kendati masih sulit menurunkannya secara signifikan,” kata Suhariyanto.
Peneliti The Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi, menilai, penurunan jumlah penduduk miskin pada September 2017 cukup signifikan. Faktor utamanya ialah harga bahan pangan yang terkendali, penyaluran dana desa dan program padat karya, serta jaringan pengaman sosial melalui Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar.
Pada 2018, program-program itu perlu dilanjutkan di tengah ekonomi yang tumbuh stagnan dan konsumsi rumah tangga menengah ke bawah yang relatif turun. ”Jangan sampai pengentasan dari kemiskinan menjadi seperti tambal sulam, kadang turun, dan kadang naik,” katanya.
Selain program-program itu, lanjut Palupi, perlu ada perubahan struktur ekonomi yang menyebabkan ketimpangan sosial. Pengembangan ekonomi kerakyatan perlu lebih didorong, terutama bagi petani dan masyarakat kecil lainnya. (HEN)