Paket Kebijakan Ekonomi yang diterbitkan pemerintah juga dipandang sebagai upaya mendorong percepatan investasi dan gerak roda perekonomian. Namun, efektivitasnya di daerah masih harus diukur agar memberikan hasil seperti yang diharapkan.
Apresiasi itu disampaikan pimpinan perusahaan di Indonesia kepada Kompas secara terpisah sampai dengan Rabu (3/1). Mereka adalah Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Warih Andang Tjahjono, Direktur Utama PT Telekomunikasi Selular Ririek Adriansyah, Direktur Utama PT Medco Energi Internasional Tbk Hilmi Panigoro, Presiden Direktur dan CEO PT Intiland Development Tbk Hendro Santoso Gondokusumo, serta CEO PT Amartha Mikro Fintek Andi Taufan Garuda Putra. Ada juga pendiri Mayapada Group Dato’ Sri Tahir, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja, CEO GE Indonesia Handry Satriago, Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Sofyan Basir, dan Presiden Direktur PT Bank Maybank Indonesia Tbk Taswin Zakaria.
Warih Andang Tjahjono menyampaikan, dukungan pemerintah terhadap industri diwujudkan melalui kebijakan fiskal, pembangunan infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia, dan kemudahan ekspor. Pebisnis mengapresiasi segala dukungan itu.
Indonesia memerlukan setidaknya Rp 4.796 triliun untuk membangun infrastruktur pada 2015-2019. Dengan keterbatasan dana dari pemerintah, pembangunan infrastruktur juga melibatkan swasta.
Dalam bidang telekomunikasi, Ririek Adriansyah menilai, salah satu kebijakan positif adalah kewajiban registrasi bagi pengguna kartu prabayar jasa telekomunikasi, yang divalidasikan dengan sistem data kependudukan RI. Kebijakan ini berdampak besar karena industri telekomunikasi memiliki data yang valid mengenai jumlah pengguna aktif layanan telepon seluler prabayar.
Hendro Santoso Gondokusumo menambahkan, bagi negara berpenduduk banyak seperti RI, pembangunan infrastruktur merupakan hal penting. Sebab, bisa menggerakkan perekonomian hingga ke desa-desa.
”Yang tak kalah penting adalah sektor properti, yang bisa mendorong perumahan hingga ke pelosok daerah,” katanya.
Sementara, menurut Jahja Setiaatmadja, program bantuan dan pembangunan wilayah perdesaan paling efektif untuk menggairahkan perekonomian. ”Obat” ini meningkatkan kemampuan konsumsi masyarakat karena langsung diberikan kepada pihak yang membutuhkan.
”Akan tetapi, jangan hanya ikan yang diberikan. Kailnya juga mesti diberikan, misalnya dengan memajukan infrastruktur dan sarana pengembangan ekonomi perdesaan,” tambah Jahja.
Dalam APBN 2018, dana desa dialokasikan Rp 60 triliun. Sebagaimana dikemukakan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo, dana desa pada 2018 akan menciptakan 5 juta-6,6 juta lapangan kerja padat karya (Kompas, 11/12/2017).
Menurut Sofyan Basir, pembangunan infrastruktur yang didorong pemerintah sudah ada di jalur yang tepat. Sejauh ini, dampaknya juga sudah dirasakan masyarakat. ”Tinggal pengawasannya agar target yang telah ditentukan bisa dicapai dengan tepat waktu,” kata Sofyan.
Handry Satriago menuturkan, percepatan pembangunan infrastruktur akan menopang sektor pariwisata dan pembangunan daerah yang berdampak terhadap bisnis. Namun, Handry mengingatkan agar stabilitas kondisi politik dalam negeri tetap dicermati. ”Dunia usaha pasti tetap khawatir, kendati Presiden bilang harus ada pemilahan antara politik dan ekonomi,” katanya.
Adapun Taswin Zakaria secara tegas mengapresiasi fokus pemerintah pada infrastruktur dan investasi. Sebab, dampak bergandanya akan dirasakan di berbagai sektor lainnya.
”Koordinasi dan perbaikan kebijakan yang selama ini menjadi hambatan juga mulai membaik. Kendati demikian, tetap perlu ada sinkronisasi kebijakan, baik di tingkat pusat maupun daerah,” kata Taswin.
Perbaikan
Kendati iklim usaha membaik, pemerintah tetap harus mengupayakan perbaikan secara terus-menerus. Menurut Hilmi Panigoro, perbaikan iklim usaha mesti dibarengi dengan upaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional.
Berdasarkan data Bank Dunia mengenai Kemudahan Berbisnis 2018, Indonesia ada di peringkat ke-72, lebih baik daripada tahun 2017 yang di posisi 91.
”Agar tetap kompetitif, perusahaan harus meningkatkan kinerja secara keseluruhan dengan fokus pada penguatan struktur permodalan,” kata Hilmi.
Andi Taufan Garuda Putra berharap, tahun ini RI mengalami pertumbuhan ekonomi yang transformatif. Artinya, pertumbuhan tersebut mampu memberikan dampak lebih luas untuk menyelesaikan permasalahan sosial, di antaranya pemerataan kesejahteraan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rasio gini Indonesia per September 2017 sebesar 0,391. Rasio gini menunjukkan ketimpangan. Semakin besar rasio tersebut, ketimpangan semakin dalam.
Menurut data BPS, ketimpangan terbesar ada di DI Yogyakarta, dengan rasio gini 0,44. Adapun ketimpangan terendah ada di Bangka Belitung, dengan rasio gini 0,276.
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang transformatif, tambah Andi, pemerintah bisa berkolaborasi dengan pelaku usaha rintisan bidang teknologi. ”Saat ini banyak bermunculan pemimpin atau kebijakan pemerintah yang memiliki visi meningkatkan kesetaraan ekonomi dan sosial,” kata Andi.
Terkait pembangunan infrastruktur yang cukup masif di Indonesia, Dato’ Sri Tahir menyarankan agar pemerintah mempertahankan kebijakan ini. Namun, pemerintah juga mesti mengevaluasi efektivitas infrastruktur yang sudah tersedia dalam memperlancar distribusi barang dan meningkatkan produksi barang di daerah. ”Pembangunan di daerah, khususnya di luar Jawa, harus lebih gencar,” kata Tahir.
Adapun soal Paket Kebijakan Ekonomi yang diterbitkan pemerintah, Tahir menyarankan agar pemerintah menguji efektivitasnya dalam menarik investasi ke daerah. Kebijakan itu mestinya juga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah. Oleh karena itu, perlu disesuaikan dengan karakteristik daerah.
Selain evaluasi, yang tak kalah penting dilakukan pemerintah adalah bersikap dan bertindak tegas. Sebagaimana dikemukakan Ririek, pemerintah jangan menerbitkan kebijakan yang malah membuat kondisi industri cenderung tidak kondusif. (HEN/CAS/MED/LKT/APO/PPG)