Masalah Iran Sarat Dimensi Internasional
Media dunia menyoroti kesulitan ekonomi sebagai penyebab aksi protes massa di Iran. Alasan ekonomi ini semata rasanya tidak cukup kuat. Perekonomian Iran memang tidak booming seperti Turki, Meksiko, Vietnam walau potensinya lebih besar. Akan tetapi di Iran juga terjadi perbaikan ekonomi secara signifikan.
Situs Tehran Times, salah satu media besar Iran, edisi 6 November 2017, memberitakan pandangan Dana Moneter Internasional (IMF) tentang perekonomian Iran yang relatif bagus. Produk domestik bruto (PDB) negara ini tumbuh 5,4 persen pada 2017 menjadi 427,7 miliar dollar AS. IMF juga memperkirakan produksi minyak Iran akan tumbuh menjadi 3,79 juta barrel per hari atau naik dari 3,69 juta barrel per hari pada 2016 dan akan menjadi 3,92 juta barrel pada 2018.
Misi IMF berkunjung ke Teheran periode 3 – 14 Desember 2017 untuk evaluasi ekonomi. Di akhir kunjungan IMF menyimpulkan produksi dan ekspor migas yang lebih tinggi akan mampu mendorong kesinambungan pertumbuhan ekonomi Iran. IMF menambahkan pelonggaran sanksi ekonomi internasional terhadap Iran, terkait sikap melunak Iran soal program nuklir, juga turut mendorong pemulihan ekonomi.
IMF memuji kemampuan pemerintah Iran mempertahankan inflasi relatif rendah dan stabilisasi kurs. Pada April 2013 kurs rial (mata uang Iran) sebesar 36.000 rial per satu dollar AS, melemah dari sekitar 12.000 rial per dollar AS di awal tahun 2012. Namun sepanjang 2017 kurs rial bertengger pada kisaran 11.000 rial. Inflasi pun turun dari kisaran 40 persen pada 2013 saat Presiden Hassan Rouhani pertama kali terpilih. Kini inflasi bertahan pada kisaran 10 persen.
Pada 18 Desember 2017 IMF menyarankan agar Iran melepaskan hambatan untuk perkembangan sektor swasta, mengurangi hambatan sosial bagi peran para perempuan, serta menyarankan reformasi akses sektor keuangan.
“Ada kecenderungan ekonomi Iran menuju arah yang baik,” kata Wakil Presiden Pertama Iran, Eshaq Jahangiri saat bertemu dengan para pemimpin provinsi seperti diberitakan kantor berita UPI, 28 Desember 2017.
Bank Dunia juga memperkirakan PDB Iran tumbuh 5,2 persen pada 2017 atau naik dari 4,6 persen pada 2016. PDB Iran diperkirakan tumbuh 4,8 persen pada 2018 serta 4,5 persen pada 2019. Peningkatan PDB Iran termasuk karena pertumbuhan di sektor otomotif, perdagangan, dan transportasi. Iran tergolong negara berpendapatan menengah menurut Bank Dunia.
Presiden Rouhani menginformasikan bahwa pemerintah telah mendorong perekonomian sehingga tidak harus tergantung pada sektor migas semata. Pada 21 Maret 2017 Presiden Rouhani menegaskan bahwa swasembada produksi gandum telah tercapai. Di samping itu ada kenaikan produksi migas, kenaikan ekspor gas kondensat, perbaikan jalan, kereta api dan sistem transportasi yang turut mendorong perekonomian. Pada Desember 2016, kepada parlemen Iran, Presiden Rouhani mengatakan reformasi ekonomi akan dilanjutkan.
Setelah bergelut bertahun-tahun karena sanksi ekonomi internasional, perekonomian Iran mulai membaik beberapa tahun belakangan ini. Pada Januari 2016, Iran berhasil mencapai kesepakatan dengan anggota Dewan Keamanan PBB yakni AS, Rusia, China, Inggris dan Perancis plus Jerman untuk membatasi program nuklirnya. Ini berhasil mengakhiri sebagian sanksi ekonomi dunia.
Kesepakatan ini juga bertujuan melepaskan dana miliaran dollar AS milik Iran yang dibekukan perbankan asing. Ini sekaligus memungkinkan negara kaya migas ini bisa berdagang secara bebas dengan dunia, termasuk dengan produsen pesawat terbang Boeing dan Airbus.
Iran memiliki potensi besar untuk tumbuh. Negara ini salah satu penghasil minyak terbesar dunia. Perancis dan China paling berminat berbisnis dengan Iran setelah pencabutan sanksi.
Aksi protes yang mengherankan
Melihat kinerja ekonomi Iran itu, agak mengherankan jika muncul aksi protes yang terkesan mendadak dan menjadikan faktor ekonomi sebagai alasan. Situs Bloomberg edisi 1 Januari 2018, misalnya, menuliskan aksi protes meningkat karena kekecewaan warga atas kenaikan biaya hidup.
Diungkit pula angka pengangguran 12 persen. Beberapa laporan menyebutkan kenaikan harga telor turut memicu aksi protes. Presiden Rouhani dalam tekanan dan media dunia menuduh dia gagal memberikan efek menetes dari buah pertumbuhan ke masyarakat bawah.
Perekonomian kita sedang memerlukan pembedahan ke arah yang benar.
Meski demikian Presiden Rouhani cukup berbesar hati. Dia mengatakan adalah hak warga untuk menyampaikan aksi protes sekaligus meminta warga bekerja sama dengannya untuk mengatasi masalah. Seperti diberitakan CNN, Rouhani pada hari Senin (1/1) mengakui pengangguran menjadi tantangan terbesar. “Perekonomian kita sedang memerlukan pembedahan ke arah yang benar.”
Akan tetapi media dunia terlanjur serentak memberitakan faktor ekonomi ini. “Ini krisis ekspektasi,” kata Tamer Badawi, seorang peneliti dari Al-Sharq Forum berbasis di Istanbul, Turki. Presiden Rouhani dianggap gagal memberikan harapan kepada rakyatnya. Aksi protes, “Ini adalah pertanda kedalaman frustrasi ekonomi,” ujar Badawi seperti diberitakan kantor berita Reuters edisi 30 Desember.
Cliff Kupchan, Ketua Eurasia Group, mengatakan hidup yang stagnan menjadi penyebab keresahan.
Mehrdad Emadi, pakar tentang ekonomi Iran yang mengetuai Betamatrix, berbasis di London, mengatakan sebuah studi menunjukkan warga Iran kecewa karena pengangguran relatif tinggi, melemahnya daya beli, melemahnya kurs rial dan timpangnya distribusi kekayaan.
Tugas sulit
Penataan perekonomian itu membutuhkan waktu untuk memberikan hasil. Meski demikian Emadi mengatakan, Rouhani menghadapi tantangan besar untuk memberantas korupsi. Emadi pun memahami bahwa tidak mudah menjadi seorang Presiden Iran khususnya dalam perbaikan ekonomi.
Emadi turut menyalahkan struktur ekonomi yang tidak baik akibat pengaruh kuat militer dan kelompok elite yang mengontrol 60 persen aset Iran. Kelompok ini pada umumnya tidak membayar pajak dan menjadi penghambat bagi perkembangan usaha skala menengah dan kecil sekaligus menghambat upaya percepatan penciptaan lapangan kerja.
Emadi mengatakan untuk mengatasi masalah ini harus dengan audit terbuka dan menekankan transpransi dalam bisnis. Akan tetapi Badawi mengatakan akan sulit menemukan perbaikan ekonomi segera. “Dugaan saya bahwa tidak akan ada yang berubah signifikan. Namun pemerintah harus terbuka, memulai insiatif reformasi. Akan tetapi ada masalah, yakni diversifikasi ekonomi, penyelesaian kebangkrutan perbankan,” kata Emadi seraya menambahkan persoalan ini hanya bisa diatasi dalam jangka panjang.
Ada masalah struktural dalam politik dan perekonomian Iran. Ada elite yang bercokol dan dikatakan tidak terlalu peduli pada aspirasi rakyat, seperti dikatakan Ghanbar Madero, analis politik Iran kepada televisi Al Jazeera pada 29 Desember lalu.
Menteri Urusan Sains Iran, Reza Faraji Dana, pada 2014 pernah mengatakan ada 150.000 warga terdidik Iran yang eksodus setiap tahun.
Negara ini tidak sendirian perihal elite yang bercokol dengan kelompok kepentingannya.
Ali Fathollah-Nejad, peneliti tamu di Brookings Doha Center, yang juga terlibat Proyek Iran di Harvard School, mengatakan, walau ekonomi tumbuh tetapi tidak inklusif, reformasi tidak dimaterialisasi. Ada derita rakyat dan tidak ada distribusi kekayaan signifikan. Elite ini terdiri dari berbagai faksi yang memiliki perbedaan tetapi juga memiliki kepentingan yang sama soal politik dan dominasi kepemilikan ekonomi.
Afshin Shahi, dosen politik Timur Tengah di University of Bradford, mengatakan, Presiden Rouhani sulit menembus kepentingan para elite ini.
Warga Iran pun memiliki hak untuk memprotes, kata Madero, karena pemerintah memang relatif gagal membenahi perekonomian. Namun Iran tidak unik. Negara ini tidak sendirian perihal elite yang bercokol dengan kelompok kepentingannya. AS juga digenggam kepentingan elitis. Sejumlah negara berkembang juga sarat dengan elite yang bercokol.
Dimensi internasional
Memperburuk keadaan di Iran, dimensi internasional tidak bisa diabaikan. Otoritas di Iran memang dengan cepat menyebut bahwa aksi protes ini didalangi asing. Para pengamat juga menangkap itu.
Shahi menyebut secara khusus efek Trump dalam kasus Iran. Ali Fathollah-Nejad, mengatakan aksi protes kali ini adalah aksi yang paling dipolitisasi di Iran. Fathollah-Nejad menambahkan tidak diragukan bahwa ada kekuatan eksternal yang menginstrumentalkan apa yang sedang terjadi di Iran. … Meski bagaimana pun juga aksi protes ini sifatnya organik. Sebab aksi protes memiliki dasar kuat yang berakar dalam.”
Tidak sedikit yang mencium keanehan di balik aksi ini. Di situs NPR edisi 1 Januari, Suzanne Maloney, dari Brookings Institution yang juga editor Markaz, sebuah blog tentang politik di Timur Tengah, mengatakan aksi protes ini menjadi buram gambarannya. “Apa yang kita sekarang adalah sesuatu yang jelas berbeda. Aksi protes dimulai dengan penekanan pada keprihatinan ekonomi dan sangat cepat berkembang ke sentimen anti-pemerintahan, dan secara langsung mengkonfrontasi aspek-aspek paling penting dari ideologi Republik Islam Iran. Apakah ini karena ada koordinasi yang dilakukan sebelumnya atau semata karena efek teknologi informasi, kita tidak tahu,” kata Maloney, juga mantan penasihat untuk Departemen Luar Negeri AS.
Saya kira sudah bisa diperkirakan bahwa Presiden Trump pasti bergerak cepat untuk mendukung pemrotes.
Soal isu ekonomi Maloney mengatakan, “Iran sebenarnya mengalami pertumbuhan yang bagus. Benar, efek menetes ke bawah yang ditunggu-tunggu rakyat Iran belum terjadi.” Namun, lanjut dia, kesepakatan nuklir yang ditawarkan Presiden Rouhani dan advokasi diplomasi lain akan menjadi jalan cepat mengatasi masalah.
Akan tetapi ini aspek relasi internasional ini akan sulit di bawah Presiden AS Donald Trump. Jarang negara yang berkembang pesat tanpa relasi internasional yang mulus. Trump mendukung pendemo, bukan pemerintahan. “Saya kira sudah bisa diperkirakan bahwa Presiden Trump pasti bergerak cepat untuk mendukung pemrotes. Dia ingin membedakan dirinya dari pendahulunya Presiden Barack Obama, yang enggan mendorong aksi protes massal di tahun 2009,” kata Maloney.
“… Juga karena Presiden Trump … dengan keyakinan bahwa Iran memiliki problem sistemik, yakni bentuk pemerintahannya. Jika bentuk pemerintahan tidak bisa diatasi maka masalah lain tidak akan bisa diatasi,” lanjut Maloney. Dan sanksi AS termasuk karena alasan itu, kata Maloney, Wakil Direktur di Program Kebijakan Luar Negeri di Brookings Institution.
Kantor berita UPI juga memberitakan peringatan Catriona Purfield, pemimpin delegasi dari IMF dalam misi ekonomi ke Iran. Purfield menyebutkan, “Meski arah pertumbuhan sedang jelas bagi Iran, semua itu masih harus diuji dalam hal munculnya ‘ketidakpastian eksternal.’”
Purfield menyebutkan ada tekanan yang meningkat dari Presiden AS Trump. Meski demikian ia mengatakan pertumbuhan ekonomi akan mampu dipertahankan meski ada tekanan. Dan tekanan AS termasuk mengungkit kesepakatan Iran dengan Dewan Keamanan PBB soal pencabutan sanksi ekonomi internasional.
Selama kampanye 2016 Trump sudah menyatakan akan membatalkan kesepakatan damai DK-PBB dengan Iran. Alasannya pencabutan sanksi hanya menguatkan ambisi Iran memperdalam kekuatan nuklir.
Meski tekanan agak reda di era Presiden AS Barack Obama, efek sanksi internasional terutama oleh dorongan AS sejak lama sangat signifikan bagi Iran. Hampir seluruh perusahaan AS mundur sejak sanksi ekonomi muncul di tahun 1995 dengan pelarangan investasi dan perdagangan.
Sejak menjabat, Presiden Trump mengenakan sanksi ekonomi terkait program rudal balistik dan eksistensi Korps Garda Republik, dua isu yang tidak dimasukkan dalam kesepakatan nuklir. Trump bahkan telah bertanya pada Kongres AS apakah sekaligus mundur dari kesepakatan nuklir yang sudah dicapai pada tahun 2016 lalu itu.
Alasan Trump, kesepakatan nuklir itu terburuk dari semua kesepakatan yang pernah ada walau untuk melakukan pembatalan itu AS memubutuhkan jawaban China, Perancis, Rusia, Jerman, Inggris dan Uni Eropa.
Sikap AS yang kaku soal Iran memberi efek “takut” pada korporasi global. Perusahaan minyak dan konstruksi asing, juga perusahaan pembuat pesawat dan otomotif seperti Airbus Group SE dan PSA Peugeot Citroen hanya berani meneken kesepakatan yang tidak mengikat dengan Iran. Kedatangan dan antusiasme investor asing gagal memenuhi harapan Presiden Rouhani yang berharap investasi asing segera datang.
Pada November lalu perusahaan migas Total mencapai kesepakatan untuk pengelolaan ladang migas di Iran, Royal Dutch Shell meneken kesepakatan serupa. Namun selebihnya asing masih berpikir. Sanksi AS atas transaksi keuangan global dengan Iran telah membuat perusahaan internasional berhati-hati melakukan bisnis dengan Iran.
Solusi yang pelik
Dengan dimensi internasional dan kekakuan struktural ekonomi dan politik domestik yang kaku bagaimana Iran bisa melangkah ke depan? Ini membutuhkan solusi yang pelik.
Bloomberg menuliskan sebagian pihak di AS dan Eropa sebenarnya berpikir bahwa mendukung ekonomi Iran adalah cara terbaik untuk mendukung garis politik moderat yang dipimpin Presiden Rouhani. Kelompok ini menyebutkan, integrasi yang lebih baik antara Iran dengan ekonomi dunia akan menciptakan insentif untuk memundurkan niat pengembangan nuklir. Hal ini akan membuat Iran menuruti norma internasional.
Akan tetapi pihak yang skeptis mengatakan, pemikiran seperti itu meremehkan ambisi Iran untuk memperluas pengaruh dan kekuatan di kawasan. Kelompok ini mengatakan Iran yang lebih kaya berarti Iran yang lebih berbahaya dan lebih berdaya untuk mendukung Suriah dan kelompok seperti Hezbollah dan Hamas.
Presiden Trump merupakan bagian dari pihak yang skeptis ini. Dia mengatakan Iran tidak hidup dengan kesepakatan nuklir yang diteken pada 2015.
Mungkin solusi yang bisa diambil adalah reformasi sturktural domestik sebagai prioritas utama. Seperti diberitakan di Tehran Times, pada awal Maret 2017 pemimpin tertinggi Ayatollah Ali Khamenei memuji kebangkitan ekonomi dan menyerukan gerakan swasembada. “Tentu pemerintah telah mengambil langkah penting, tetapi jika reformasi ekonomi digerakkan secara penuh dan meluas, kita bisa menyaksikan wujud perubahan kehidupan.”
Di Al Jazeera edisi 30 Desember 2017, Ahmad Sadri, seorang profesor sosiologi, dan James P Gorter Chair dari Islamic World Studies di Lake Forest College menuliskan bahwa memang tidak ada pilihan lain bagi elite Iran selain membenahi struktur ekonomi dari dalam. Dua pakar ini juga menyarankan modifikasi dalam kekakuan para elite, yang berefek tidak baik bagi distribusi kemakmuran. (REUTERS/AP/AFP)
Tetapi jika reformasi ekonomi digerakkan secara penuh dan meluas, kita bisa menyaksikan wujud perubahan kehidupan