Program Sejuta Rumah memasuki tahun ketiga sejak dicanangkan pada 2015. Meski penekanannya pada semangat membangun rumah sebanyak-banyaknya, angka sejuta rumah tetap dijadikan target pencapaian pemerintah dalam setahun. Penghitungannya merupakan akumulasi dari rumah atau hunian yang dibangun pemerintah, yang dibiayai melalui beberapa skema yang berasal dari anggaran pemerintah, yang dibangun pengembang, dan hunian yang dibangun sendiri oleh masyarakat atau rumah swadaya.
Sejuta rumah memang bukan sekadar angka. Pertama, sebagai target, angka tersebut menunjukkan besarnya angka kekurangan rumah (backlog) yang sekitar 13,5 juta unit pada 2010. Sementara kebutuhan hunian setiap tahun diperkirakan mencapai 800.000 unit per tahun.
Melalui target sejuta rumah, bisa dilihat bahwa kemampuan pemerintah untuk membangun rumah dan melalui pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah paling besar hanya 20 persen. Itu pun dengan catatan, pemerintah bersama pemerintah daerah dapat menyediakan lahan untuk kemudian bekerja sama membangun rumah susun sederhana sewa (rusunawa) dalam jumlah yang masif.
Dari sisi fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) dan subsidi selisih bunga (SSB), target sejuta rumah hanya dapat dicapai jika seluruh fasilitas pembiayaan dapat disalurkan semua. Sementara meski dana tersedia, pembiayaan perumahan juga bergantung pada bank pelaksana yang kapasitas antara satu bank dan bank lain berbeda-beda.
Fasilitas pembiayaan yang berada di sisi hilir juga tergantung dari pasokan pengembang yang memiliki penghitungan bisnis dalam membangun rumah, termasuk rumah bersubsidi. Ini pun belum memasukkan persoalan tepat-tidaknya sasaran pembeli rumah bersubsidi. Adapun rumah komersial sangat tergantung dari kondisi pasar.
Dengan demikian, sebagian besar rumah dibangun oleh masyarakat sendiri. Jumlahnya diperkirakan lebih dari 50 persen karena tidak semua rumah yang dibangun memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Pemerintah pun tidak punya kemampuan untuk menghitung satu demi satu rumah yang dibangun masyarakat di sejumlah daerah.
Lantas apa beda ada Program Sejuta Rumah dengan tidak ada program itu? Toh, masyarakat tetap membangun rumah dengan caranya masing-masing. Apalagi, jumlah rumah swadaya ini tidak terhitung karena tidak setiap rumah swadaya memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Pemerintah telah menyadari, salah satu hambatan dalam penyediaan rumah adalah regulasi.
Hal itu kemudian dituangkan di dalam Paket Kebijakan Ekonomi XIII yang dilanjutkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah.
Meski regulasi untuk menyederhanakan proses mendapatkan izin telah terbit, pasokan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah melonjak. Peraturan itu perlu diadopsi peraturan daerah. Sementara, tidak mudah mendorong pemerintah daerah merevisi karena perizinan perumahan adalah salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD). Pelaksanaan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) juga belum jelas karena masih menunggu terbitnya berbagai aturan pelaksanaan.
Karena itu, pemerintah mesti membuat peta jalan penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang mencakup proses menyediakan hunian dari hulu hingga hilir. Kolaborasi dengan pemda tidak hanya dilakukan dalam penyederhanaan perizinan pembangunan rumah yang bisa jadi bias dengan kepentingan bisnis pengembang. Namun, terutama terkait rencana tata ruang dan wilayah beserta pengawasannya.
Kemudian, perlu keberpihakan dari pemerintah agar ruang strategis di pusat kota dapat dinikmati masyarakat berpenghasilan rendah. Harapannya, anggaran perumahan, skema pembiayaan, subsidi, hingga regulasi yang dibuat dapat terintegrasi dan tersistematisasi, bukan berjalan sendiri-sendiri.