Akar Masalah Perlu Dicari
Oleh karena itu, saat memimpin rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (5/1), Presiden memerintahkan menteri dan pimpinan lembaga negara terkait mencari akar persoalan yang masih membelit.
”Ibarat orang sakit, kondisi ekonomi Indonesia ini bagus. Kadar kolesterol dalam kondisi baik, jantung baik, paru-paru bagus, darah tinggi tidak ada, tetapi mengapa tidak bisa lari cepat. Masalahnya harus dicari,” kata Presiden.
Saat ini, kata Presiden, sudah menjadi keharusan bagi para menteri dan pimpinan lembaga negara untuk fokus menggenjot investasi dan ekspor. Kebijakan dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, pertanian, industri pertahanan, kelautan dan perikanan harus digarap dalam satu garis arah. Dengan cara ini, diharapkan masalah dapat ditangani dengan lebih baik.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita melihat ada perbedaan situasi yang terjadi antara Indonesia dan sejumlah negara di Asia Tenggara. Peningkatan investasi dan ekspor Vietnam dan Malaysia, misalnya, didorong oleh perjanjian perdagangan yang mereka miliki dengan negara-negara lain. Hal ini memudahkan investasi masuk ke kedua negara itu.
”Sejumlah negara mau berinvestasi di Vietnam dengan tujuan ekspor. Sementara pemodal asing untuk berinvestasi di Indonesia kendalanya begitu banyak. Itu yang tadi disampaikan Presiden agar masalah ini diselesaikan,” kata Enggartiasto.
Sementara itu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong mengakui masih ada masalah dalam hal perizinan. Kendala ini banyak ditemui di tingkat pemerintah daerah. Tantangan itu harus diselesaikan melalui implementasi paket kebijakan ekonomi, antara lain terkait sistem perizinan terintegrasi.
”Kami akan mengumpulkan semua pemda untuk duduk dengan pejabat kementerian dan lembaga negara di pusat. Dari sana kami bahas prioritas kerja untuk mendorong investasi dan ekspor,” kata Thomas Lembong.
Langkah ini mendesak dilakukan. Sebab, berdasarkan data BKPM, sejumlah modal asing siap masuk ke dalam negeri, tetapi terkendala sistem pelayanan dan regulasi. Terkait hal itu, keterbukaan informasi dan akuntabilitas menjadi tuntutan.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 mengarah ke 5,05 persen, lebih rendah daripada target pemerintah yang ditetapkan 5,2 persen. Pertumbuhan perekonomian itu terutama didorong oleh konsumsi rumah tangga, investasi (pembentukan modal tetap bruto), serta ekspor barang dan jasa.
Konsumsi
Sepanjang 2017, konsumsi rumah tangga cenderung melambat. Konsumsi rumah tangga pada 2017 diprediksi hanya tumbuh 4,9 persen. Namun, pada 2018, konsumsi rumah tangga diperkirakan akan tumbuh pada kisaran 5-5,2 persen.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan, kelompok masyarakat dengan pengeluaran 40 persen terbawah mengalami tekanan karena stagnasi nilai tukar petani di angka 101-103 pada 2015-2017. Di sisi lain, upah riil buruh bangunan turun. Ini menandakan upah yang diterima tak bisa mengikuti naiknya harga kebutuhan pokok.
”Pencabutan subsidi listrik 900 VA juga memengaruhi pendapatan yang siap untuk dimanfaatkan membeli barang dan jasa konsumsi,” ujarnya.
Bhima memproyeksikan, konsumsi rumah tangga pada 2018 sedikit membaik. Perbaikan itu, antara lain, disebabkan adanya peningkatan bantuan sosial yang diharapkan dapat melindungi keluarga miskin dari tekanan harga pangan.
Konsumsi, khususnya terkait makanan, minuman, rokok, pakaian jadi, jasa iklan, perhotelan, dan restoran juga diperhitungkan bakal terangkat karena perhelatan pemilihan kepala daerah. Hal itu menjadi stimulus positif untuk perbaikan daya beli kelompok bawah, meskipun bersifat temporer.
Menurut Bhima, ada dua tantangan untuk menumbuhkan konsumsi rumah tangga pada tahun ini. Pertama, inflasi pangan harus dicermati karena kondisi cuaca memengaruhi pasokan pangan. Kedua, pemerintah perlu menjaga subsidi energi sehingga tidak terjadi penyesuaian harga bahan bakar minyak, subsidi listrik, dan elpiji 3 kilogram.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pelaksanaan proyek-proyek pembangunan yang dibiayai negara, kinerja penerimaan pajak menjadi faktor penentu. Guna mencapai target penerimaan pajak tahun 2018, pajak butuh tumbuh 23,7 persen dari realisasi tahun 2017. Ini merupakan tantangan setelah realisasi 2017 membukukan pertumbuhan 15,8 persen.
Realisasi penerimaan pajak tahun 2017 mencapai Rp 1.151 triliun atau 89,7 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2017. Tahun 2018, target pajak ditetapkan sebesar Rp 1.424 triliun.
Direktur Jenderal Pajak, Robert Pakpahan menyatakan, terdapat dua strategi besar dalam usaha mencapai target 2018. Pertama, melanjutkan usaha rutin seperti intensifikasi, ekstensifikasi dan pelayanan. Kedua, melalui program reformasi pajak.
”Perlu dilakukan percepatan reformasi pajak agar kapasitas institusi pemungut pajak meningkat, administrasi lebih baik, dan kepastian hukum meningkat,” kata Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo menanggapi hal ini. (NDY/HEN/LAS/CAS)