Ishak merintis usaha pembuatan kerupuk singkong di Dusun Ewong, Desa Krangean, Kecamatan Kertanegara, Purbalingga, Jawa Tengah, sejak tahun 2000. Sebelumnya, ia pernah menjadi kuli bangunan di Jakarta selama setahun. Ia kemudian pulang ke desa, dan mengawali usaha pembuatan kerupuk itu bersama keluarga.
Semula Ishak mengolah singkong 10 kilogram per hari, ia sedikitnya menghabiskan bahan baku singkong sebanyak 1,5 ton per 3 hari.
”Harga singkong per kilogram adalah Rp 1.400. Dari per kilogram singkong itu bisa dihasilkan sekitar 2,5 bungkus kerupuk singkong mentah,” kata Ishak.
Ishak memilih singkong sebagai bahan baku karena ia melihat di sekitar tempat tinggalnya berlimpah tanaman singkong. Dia pun mempelajari keterampilan membuat kerupuk itu hingga ke Kota Malang, Jawa Timur.
Sejumlah kawasan yang memasok singkong bagi produksi kerupuk itu, antara lain Kaligondang dan Karangmoncol, Purbalingga. ”Biasanya kami dikirimi oleh pengepul, tetapi ada juga beberapa petani singkong yang sudah langganan mengirimkan singkong,” kata Ishak yang sedikitnya bekerja sama dengan lima petani singkong di daerahnya.
”Produksi kerupuk kami per bulan sekitar 10.000 bungkus dan dikirim ke beberapa daerah, seperti Banjarnegara, Cilacap, Bandung, dan Jakarta,” kata Ishak beberapa waktu lalu.
Untuk membuat 10.000 bungkus kerupuk singkong per bulan itu, Ishak dibantu oleh 50 warga dusun tempat ia tinggal. ”Karena diproduksi di tempat ini, kerupuk singkong ini diberi merek kerupuk Ewong,” kata Ishak.
Tempat produksi berukuran 20 meter x 12 meter itu terbagi menjadi lima bagian. Ada ruangan tempat mengupas kulit singkong, ada tempat untuk memarut, dan merebus singkong, ada juga tempat untuk menata dan menjemur kerupuk singkong.
Untuk membuat kerupuk singkong, kata Ishak, singkong lebih dulu dikupas dan direndam semalaman. Selanjutnya, diparut, dicampur tepung tapioka dan terigu, lalu dibumbui. Bumbu yang digunakan, antara lain, adalah bawang putih, garam, gula, dan cabai. Setelah itu, olahan singkong itu direbus selama tiga jam dan dibuat menjadi lembaran- lembaran tipis dengan alat pemipih. Lalu olahan itu dicetak bulat-bulat. ”Kemudian kerupuk mentah ini ditata di atas widik, dijemur sekitar 3 jam, lalu dikemas,” kata suami dari Siti Darojah (29) itu.
Tanpa pengawet
Kerupuk singkong itu dijual per bungkus, berbobot 0,25-0,3 kilogram, seharga Rp 4.500. Omzet penjualan Ishak per bulan berkisar Rp 45 juta dengan laba bersih Rp 10 juta hingga Rp 15 juta. ”Kerupuk ini diolah tanpa bahan pengawet dan bisa tahan hingga 4 bulan,” kata ayah tiga anak ini.
Ishak juga mempekerjakan karyawan khusus untuk mengantarkan kerupuk-kerupuk pesanan ke luar kota dengan mobil boks.
”Supaya tidak remuk, kerupuk ini dikemas per 10 bungkus. Lalu setiap kemasan ditumpuk hingga maksimal lima tumpuk,” ujarnya.
Kepada para pekerja, Ishak memberikan upah dengan sistem borongan dan juga harian. Mereka yang bertugas menata dan menjemur kerupuk mendapat upah berkisar Rp 350 sampai Rp 500 per widik. Adapun upah pekerja harian yang mengolah singkong menjadi lembaran pipih sejumlah Rp 300.000 per minggu.
Menurut Ishak, peran pemerintah daerah cukup baik mendorong produksinya. Pemerintah daerah, melalui Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Purbalingga, pernah memberi bantuan berupa sebuah mesin pemipih untuk memperlancar proses produksi kerupuk singkong ini. ”Selain bantuan mesin, produk kami juga dibawa ke sejumlah pameran untuk dipromosikan,” ujarnya.
Kerupuk singkong produksi Ishak dan warga Dusun Ewong terasa gurih dengan cita rasa singkong atau juga dikenal dengan nama kaspe oleh warga sekitar. Ishak berharap, industri rumah tangga bernama Berkah Ridlo tersebut dapat terus berkembang dan membawa kesejahteraan, baik bagi keluarganya maupun bagi warga dusun di sekitarnya.