JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kebijakan peternakan dinilai kontraproduktif bagi usaha pengembangan sapi potong dan kerbau di dalam negeri. Selain mematikan motivasi peternak, sejumlah peraturan dinilai tidak adil, bertolak belakang dengan perkembangan teknologi, serta melemahkan daya saing produk lokal.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana di Jakarta, Minggu (7/1), berpendapat, iklim usaha ternak sapi dan kerbau tidak kondusif tahun lalu. Dengan tujuan menekan harga daging sapi Rp 80.000 per kg, misalnya, pemerintah membuka impor jeroan dan daging kerbau beku dari India yang dianggap belum bebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK).
Alih-alih menekan harga daging di dalam negeri, pasar daging sapi lokal justru tergerus daging beku impor. Permintaan daging sapi di rumah pemotongan hewan, perusahaan penggemukan, pembibitan, dan peternak skala kecil turun. Harga jual sapi hidup di peternak tak optimal, sementara harga daging di pasar belum sesuai harapan pemerintah.
Alih-alih menekan harga daging di dalam negeri, pasar daging sapi lokal justru tergerus daging beku impor.
Menurut Teguh, kebijakan yang ditempuh pemerintah semestinya berorientasi pada peningkatan produksi, produktivitas, dan kesejahteraan peternak, bukan pada penurunan harga komoditas.
Impor daging kerbau dari India juga kontroversial. Sejumlah aktivis, pengamat, dan akademisi menilai, kebijakan itu juga membuka peluang penularan PMK sekaligus melanggar UU No 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Alternatif harga
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita menyatakan, penetapan harga acuan daging beku dimaksudkan untuk mengendalikan harga.
Impor ditempuh untuk memenuhi kebutuhan daging yang saat ini belum dapat dicukupi produksi dalam negeri, selain memberikan alternatif harga yang terjangkau bagi konsumen dan bahan baku bagi industri pengolahan daging.
Harga acuan penjualan daging beku di konsumen ditetapkan Rp 80.000 per kg, sementara daging sapi segar bervariasi antara Rp 50.000 dan Rp 105.000 per kg. Namun, harga yang terjadi di pasar selama 2017 masih berkisar Rp 110.000-Rp 120.000 per kg, sementara harga sapi lokal Rp 40.000-Rp 47.000 per kg bobot hidup. Angka itu dinilai masih wajar dan memberi keuntungan bagi peternak lokal.
Menurut Ketut, impor menjadi instrumen bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan daging. Dalam pelaksanaannya,
impor mesti memenuhi syarat aman, sehat, utuh, dan halal sekaligus memperhatikan kepentingan nasional dalam menjaga produktivitas serta stabilitas harga yang terjangkau masyarakat.
Aturan pemeliharaan sapi bakalan impor selama 120 hari dimaksudkan untuk menghilangkan residu hormon pertumbuhan, memberikan nilai tambah bagi peternak, serta membuka lapangan kerja. (MKN)