JAKARTA, KOMPAS — Di tengah persaingan global yang sangat ketat, kualitas dan kapasitas sumber daya manusia di bidang perhubungan masih harus ditingkatkan. Dengan demikian, sumber daya manusia itu bisa memenangi persaingan, termasuk dalam mendapatkan pekerjaan.
Peningkatan kapasitas tersebut tak hanya berlaku bagi pilot lulusan sekolah penerbangan. Pelaut yang lulus dari sekolah pelayaran juga mesti ditingkatkan kapasitasnya.
Hal ini berkaitan dengan fakta masih banyak pilot dan pelaut yang belum memperoleh pekerjaan. Oleh karena itu, kualitas pendidikan kedua profesi tersebut perlu dilihat lagi.
”Kondisi ini mencerminkan dua hal. Yang pertama, harus dilihat bagaimana situasi industri yang terkait. Apakah memang sedang lesu atau bagaimana. Sementara yang kedua, kita harus melihat bagaimana dengan kualitas pendidikan kita. Di situ celah yang bisa kita perbaiki,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi saat meninjau Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, Jakarta, Minggu (7/1).
Menurut Budi Karya, evaluasi dan peningkatan kualitas pendidikan di bidang perhubungan sangat diperlukan. Dengan kualitas yang meningkat, sekolah- sekolah tersebut tidak melahirkan penganggur-penganggur baru terus-menerus.
Diakui Budi Karya, saat ini pelaut Indonesia kalah bersaing dengan pelaut Filipina. Jumlah pelaut Indonesia hanya 300.000 orang di seluruh dunia. Sementara, pelaut Filipina mencapai 4 juta orang.
”Secara teknis, kita tidak kalah dengan Filipina. Namun, karena kemampuan bahasa Inggris kita kalah dibandingkan dengan mereka, pelaut Filipina lebih mendunia,” katanya.
Perluas jaringan
Budi Karya menambahkan, guru-guru atau semua pemangku kepentingan yang terkait dengan pendidikan perhubungan diminta untuk memperluas jaringan.
”Jadi, kalau tugas ke luar negeri tidak hanya mengejar tujuan utamanya. Akan tetapi, juga coba tawarkan anak didik lulusannya. Cari peluang untuk menempatkan peserta didik ke pengguna jasa di luar negeri. Untuk pelayaran, peluang kerjanya memang lebih terbuka di dunia internasional dibandingkan dengan di dalam negeri,” kata Budi Karya.
Kepala Badan Pembangunan Sumber Daya Manusia Kementerian Perhubungan Djoko Sasono mengakui, saat ini kemampuan berbahasa Inggris menjadi persoalan yang paling kritis bagi lulusan pendidikan di bidang perhubungan.
”Kami sedang menjajaki beberapa opsi untuk mengatasi persoalan tersebut. Kemungkinan kami akan mengundang instruktur dari Filipina untuk mengajar di sini menggunakan bahasa Inggris. Kami juga sedang menjajaki agen-agen pekerjaan di Filipina untuk membuka kantor agen di Indonesia agar kita bisa memperoleh peluang yang lebih besar,” kata Djoko.
Lebih lanjut Djoko menuturkan, salah satu penyebab masih adanya pelaut yang menganggur karena permintaan profesi pelaut terkait dengan harga minyak dunia. Saat ini, permintaan terhadap industri pelayaran juga menurun. Pada gilirannya, permintaan akan pelaut juga terkena imbasnya.
Ketua STIP Marunda Sahattua Simatupang mengatakan, kurikulum di STIP sudah sesuai dengan standar dunia yang dibuat Organisasi Maritim Internasional (IMO).
”Bahkan, di sini kurikulumnya masih ditingkatkan lagi. Untuk masalah (persaingan sumber daya manusia) itu, kita bisa bersaing dengan Filipina. Pelaut Filipina bisa banyak yang terserap di pasar dunia karena mereka juga terjun ke manajemen. Sementara, pelaut Indonesia lebih ke teknik nautikal,” kata Sahattua.
Menurut Sahattua, setiap tahun STIP meluluskan 350 pelaut, yang semuanya terserap pasar. Sebagian ada yang bekerja di laut, sebagian di darat.
Dalam kesempatan itu, Budi Karya meminta pihak sekolah mendata ulang lulusannya, untuk mengetahui jumlah lulusannya yang belum bekerja. Jika memang ada lulusan sekolah itu yang belum memperoleh pekerjaan, sekolah harus menambah pelatihan bagi lulusan tersebut. Selain itu, sekolah mesti mencarikan perusahaan yang bisa menerima lulusannya. (ARN)