Momentum UMKM untuk Menjadi Lokomotif Ekonomi
Tahun 2017 baru dua pekan berlalu. Banyak sisi positif yang mulai dapat dinikmati publik dari karya para birokrat Kabinet Kerja. Hal ini karena infrastruktur marak dibangun di sejumlah daerah. Bahkan, jalan tol dari Jakarta Raya hingga ujung Jawa Timur nyaris tersambung. Pembagunan jalan juga mulai dilihat publik di sepanjang jalur Trans-Sumatera yang dirasakan kehadirannya oleh para pelaku bisnis, pembangunan Trans-Sulawesi juga giat dilakukan, termasuk Trans-Papua.
Demikian juga dengan berbagai proyek pelabuhan dan tol laut terus dibangun tiada henti, pembukaan bandara baru dan perintis, serta pembangunan infrastruktur transportasi darat. Kereta bandara juga sudah dioperasikan secara komersial, pembangunan rel ganda ganda juga terus dilakukan, bahkan menara LRT berdiri tegak di sepanjang jalan Cibubur hingga Jakarta. Pendek kata, asa soal pembangunan infrastruktur mulai muncul dalam dua tahun terakhir ini.
Belum berhenti sampai di sana. Masih ada kado istimewa yang nilainya juga tidak kecil. Gebrakan Kabinet Kerja dalam tiga tahun terakhir membuahkan dampak positif terhadap persepsi perekonomian Indonesia di mata internasional. Hal itu terbukti dari kinerja pemerintahan yang memosisikan Indonesia lebih baik dalam hal daya saing.
Indeks daya saing Indonesia dalam Global Competitiveness Index meningkat dari peringkat ke-41 ke peringkat ke-36 di antara 120 negara. Sementara indeks ease doing business naik dari posisi ke-91 ke posisi ke-72, demikian juga dengan sovereign credit rating juga membaik dengan positive outlook. Implikasinya, kepercayaan terhadap pemerintah juga ikut meningkat sehingga semua itu menjadi modal terkuat bagi republik ini untuk menggaet investor dan dunia bisnis internasional. Bahkan, Indonesia berpeluang menjadi ladang investasi yang menarik untuk didatangi dan seharusnya itu sangat mungkin terjadi.
Namun, sayangnya modal besar itu tak menjadi bola emas bagi negeri ini. Semua proyek infrastruktur yang terbangun di sepanjang kota-kota strategis tak diikuti dengan kebijakan kepala daerah untuk menjadikan wilayahnya sebagai lahan magnetik demi menarik investor. Tidak heran jika jalur sepanjang Purwakarta sampai Brebes atau Pekalongan, misalnya, bukan menjadi kota industri, tetapi menjadi kota mati yang tak disinggahi pendatang.
Padahal, infrastruktur yang terbangun sangat mungkin menjadikan kota itu pusat ekonomi dan pusat jasa serta perdagangan. Namun, karena kecerdasan para pemimpin regional kurang menangkap momentum itu dan tak memberi manfaat tunai bagi kepentingannya, semua peluang itu dibiarkan melayang sia-sia.
Dampaknya, kondisi riil masih seperti pepatah kuno, ibarat panggang jauh dari api. Laju pertumbuhan ekonomi tak bergerak seperti yang diharapkan karena kisaran angka pertumbuhan masih di sekitar 5 persen. Tumpuan dasar pertumbuhan ekonomi masih tetap pada sektor konsumsi dan bukan karena masuknya investasi, pembangunan industri manufaktur, dan ekspor komoditas manufaktur unggulan. Ekspor yang terjadi masih bertumpu pada komoditas-komoditas mentah yang harganya naik-turun seperti yoyo di pasar global.
Padahal, salah satu kunci untuk dapat keluar dari berbagai persoalan yang membelit perekonomian saat ini adalah bagaimana Indonesia mampu mencapai pertumbuhan ekonomi di kisaran 7 persen, dengan basis pertumbuhan bukan hanya karena sektor konsumsi semata. Pertumbuhan itu harus karena derasnya investasi, pembangunan industri manufaktur, dan ekspor berbagai komoditas. Ekspor itu juga bukan hanya terbatas pada komoditas mentah tradisional, seperti sawit, karet, kakao, kopi, dan kopra, termasuk hasil tambang.
Pertumbuhan itu harus karena derasnya investasi, pembangunan industri manufaktur, dan ekspor berbagai komoditas.
Meski semua pihak menyadari, termasuk menteri perekonomian Kabinet Kerja, bahwa dalam kondisi seperti sekarang ini sulit untuk bisa memperkuat struktur perekonomiannya dalam rangka menghadapi berbagai tantangan. Terlebih lagi setelah era industri digital atau Industry 4.0, middle income trap, dan food crisis.
Muncul pertanyaan mendasar, lalu bagaimana menggunakan modal besar tersebut sebagai kekuatan yang efektif menggerakkan perekonomian nasional. Dengan demikian, Indonesia memiliki kekuatan ekonomi nasional yang dahsyat dan siap menghadapi tantangan global yang lebih berat, terlebih lagi di era industri digital.
Tidak ada cara lain kecuali menggerakkan stakeholder untuk bersinergi membangun strategi kebijakan untuk menyiapkan struktur perekonomian yang lebih kuat dalam menghadapi tantangan ke depan. Hal ini dimaksudkan agar modal besar yang sudah ada tidak hilang sia-sia.
Walau harus diakui, pola birokrasi di lapangan yang kerap tidak sinkron dengan langkah dan harapan pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk memperkuat sektor produksi di level yang paling hulu, yakni rakyat. Ada harapan, misalnya, pengguliran dana desa dapat menggerakkan perekonomian produktif di level yang paling ujung. Sayangnya, hal itu tidak sepenuhnya terjadi, bahkan kabar Kompas Selasa (9/1) pagi cukup mengagetkan. Triliunan rupiah dana desa ternyata masih mengendap di kas pemerintah daerah.
Tertahannya dana desa karena sejumlah persoalan sehingga dari pagu dana desa yang harus disalurkan sebesar Rp 60 triliun ternyata sampai dengan 31 Desember 2017 baru benar-benar tersalurkan ke desa-desa sebesar Rp 48,3 triliun. Padahal, apabila dana desa ini tersalur secara efektif, bukan tidak mungkin sektor ini akan produktif di level yang paling ujung di hilir dan akan menjadi salah satu roda perekonomian yang sangat kuat.
Apabila dicermati, sebagian besar produk domestik bruto (PDB) Indonesia juga berasal dari sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Paling tidak, jika melihat catatan, sekitar 60 persen PDB dari proses nilai tambah yang disumbangkan oleh UMKM. Tidak hanya itu, sektor ini juga merupakan lahan yang paling liat untuk menyerap tenaga kerja karena sektor UMKM menyerap 97 persen dari total angkatan kerja.
Namun, semua potensi itu tidak dimanfaatkan optimal. Padahal, berdasarkan penelitian (sumber: Ganeshan Wignaraja, Can SMEs Participate in Global Production Network, Evidence from ASEAN?), keterkaitan UMKM Indonesia dalam jaringan produksi sangat rendah, yakni sekitar 6,3 persen. Angka ini jika disandingkan dengan data dari negara-negara ASEAN ternyata Indonesia yang terendah karena keterkaitan di negara kawasan ASEAN-5 rata-rata 20 persen.
Berdasarkan penelitian tersebut, keterkaitan UKM Malaysia dengan jaringan dalam kegiatan produksi mencapai 46,2 persen, Thailand sebesar 29,6 persen, Filipina sebesar 20,1 persen, dan Vietnam sebesar 21,4 persen.
Dampak ikutannya, kontribusi UMKM terhadap ekspor juga masih rendah. Menurut catatan, dampak ikutan UMKM ternyata hanya sekitar 15 persen, di bawah Malaysia yang mencapai 19 persen, Thailand sebesar 29,9 persen, Filipina sebesar 20 persen, dan Vietnam sebesar 20 persen. Angka ini sekaligus menegaskan bahwa keterkaitan UKM Indonesia pada arus perdagangan dunia (global supply chain) terendah di lingkungan ASEAN.
Bahkan, jika dibandingkan dengan Jepang yang mengalami pertumbuhan kuat di sektor industri manufaktur, justru terjadi karena kuatnya dukungan UMKM mereka. Dengan demikian, sektor produksi global mereka bisa mencapai hingga 53,8 persen, sedangkan Jerman yang dikenal maju sebagai negara industri memiliki keterkaitan yang kuat dengan UMKM-nya yang mencapai hingga 55,4 persen.
Semua data itu membuktikan bahwa sektor UMKM berpotensi menjadi lokomotif perekonomian. Pelaku usaha di sektor ini bukan hadir dalam kapasitas sebagai manufaktur untuk menuju Indonesia Inkorporasi, tetapi sebagai industri penunjang. Kehadiran mereka sebagai industri pendukung alias industri antara bagi keberlangsungan industri hulu serta produsen bahan baku dan bahan baku penolong keberlanjutan bagi kepentingan industri hilir untuk produk manufaktur.
Namun, dalam kenyataannya, lagi-lagi seluruh aset alias modal besar itu dibiarkan menguap begitu saja.
Fakta mengabarkan kontradiksi perlakuan. Di satu sisi, UKM/UMKM dinilai mampu memainkan peran paling penting dalam mendukung pertumbuhan PDB dan penyerapan tenaga kerja. Akan tetapi, di sisi lain, UKM/UMKM dibiarkan merana tanpa akses yang luas terhadap arus supply chain.
Kini, dengan semakin menguatnya arus global supply chain ataupan global value chain, maka meningkatnya keterlibatan sektor UKM/UMKM terhadap pasar internasional merupakan hal mendesak yang harus dilakukan. Ini tantangan bagi Kabinet Kerja Presiden Jokowi. Selama ini, sektor koperasi dan UKM/UMKM yang merupakan industri di garda terdepan republik ini seperti mati suri.
Padahal, tidak sedikit terdengar jeritan kuat para pelaku di industri manufaktur nasional yang kelojotan dihantam produk manufaktur impor dari kelas bermerek hingga level murahan dari China, Vietnam, dan Thailand. Mereka tidak saja hanya harus bertarung di pasar nyata, tetapi juga di pasar maya karena perkembangan industri digital.
Mereka tidak saja hanya harus bertarung di pasar nyata, tetapi juga di pasar maya karena perkembangan industri digital.
Oleh sebab itu, tantangan kini yang harus dihadapi Kementerian Koperasi dan UKM adalah menjadi lebih berperan bagi UKM/UMKM. Mereka harus lebih produktif, kreatif, sekaligus luwes untuk memosisikan peranannya yang kian penting dan strategis. Tidak seperti sekarang ini yang hanya diam dan membiarkan UKM/UMKM hidup dengan caranya sendiri-sendiri, termasuk membiarkan akses tetap terbatas.
Kementerian yang membidangi koperasi dan UKM/UMKM juga harus membangun strategi kebijakan yang komprehensif. Tujuannya hanya satu, yakni agar potensi besar UKM/UMKM menjadi efektif untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi, sekaligus berperan besar memperkuat struktur perekonomian nasional. Membangun strategi penguatan supply chain antarpelaku industri pun menjadi sangat penting dalam rangka memperkuat pendalaman struktur ekonomi nasional dari hulu-antara-hilir.
Tuntutan terhadap implementasi strategi tersebut bahkan menjadi semakin kuat dalam menghadapi era industri digital gelombang industri keempat (Industry 4.0) yang semakin menunjukkan besarnya peran global value chain. Menggali potensi dan tantangan UKM/UMKM dalam menghadapi Industry 4.0 merupakan langkah strategis yang perlu disiapkan.
Kini, apakah sektor UKM/UMKM akan dibiarkan terus merana seperti sekarang ini? Pertanyaan ini harus segera dijawab karena dapat memosisikan industri manufaktur Indonesia untuk tetap terus mengalami ketergantungan impor dengan struktur industri yang rentan.
Pilihan sebaliknya adalah bangsa ini dengan kesadaran penuh tancap gas dan memberikan energi maksimal untuk mendorong UKM/UMKM. Dorongan itu tidak hanya sebagai lahan terbaik untuk menyerap tenaga kerja, menjadikan lembaga penggemblengan sumber daya produktif dan pendukung bagi kepentingan bagi industri nasional, tetapi juga sumber kekuatan bagi industri nasional.
Dan, utamanya adalah menjadikan UKM/UMKM sebagai industri pendukung, sekaligus lokomotif ekonomi untuk membantu pelaku industri menjadi Indonesia Inkorporasi di pasar global.