Awal tahun 2018, diwarnai dengan gejolak di sektor perikanan. Diawali dengan penutupan sejumlah pabrik surimi—daging ikan yang dihaluskan—akibat kekurangan bahan baku, hingga aksi unjuk rasa nelayan di wilayah basis alat tangkap cantrang.
Larangan operasional alat penangkap ikan cantrang mulai berlaku mulai Januari 2018. Hal ini seakan menghadirkan dua kubu yang berkonflik, yakni pelaku usaha, anak buah kapal, dan nelayan cantrang versus pemerintah. Polemik publik terkait cantrang muncul sejak Kementerian Kelautan dan Perikanan menerbitkan kebijakan larangan penggunaan alat tangkap pukat hela dan pukat tarik, antara lain meliputi dogol, arad, cantrang, garok, payang, dan sejenisnya. Alat tangkap itu dilarang karena dinilai merusak lingkungan.
Larangan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI. Larangan juga berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkap Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.
Selama 2015 hingga akhir 2017, solusi telah digulirkan pemerintah untuk memuluskan peralihan cantrang ke alat tangkap ramah lingkungan. Namun, penerapannya terkesan lamban. Bantuan alat tangkap pengganti cantrang digulirkan mulai 2016 bagi nelayan kapal cantrang berukuran di bawah 10 gros ton (GT). Sementara fasilitas permodalan bagi nelayan kapal cantrang di atas 10 GT untuk berganti alat tangkap juga tak mulus. Hingga Januari 2018, masih banyak nelayan cantrang belum beralih alat tangkap.
Dalam unjuk rasa yang menentang larangan cantrang di beberapa wilayah pantai utara Jawa, Senin (8/1), pelaku usaha dan nelayan mendesak pemerintah membentuk tim independen. Tim itu diminta mengkaji benar atau tidaknya 17 jenis alat tangkap yang dilarang tersebut merusak lingkungan. Sebelum ada kajian dari tim independen, para nelayan yang berunjuk rasa itu meminta cantrang dan sejenisnya tetap bisa digunakan.
Sementara itu, rapat koordinasi awal tahun tingkat menteri di bawah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan mencari cara untuk menyelesaikan persoalan cantrang. Catatan lain, investasi yang membawa kebaikan harus didukung. Adapun pemerintah diminta fokus mendorong produksi dan ekspor.
Polemik cantrang bisa diakhiri, tentunya dengan solusi yang tepat. Pemerintah perlu terus mengawal transisi nelayan cantrang ke alat tangkap yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, yang tak kalah penting, pemerintah mesti serius memfasilitasi permodalan nelayan cantrang yang masih dihadang kesulitan dan keterbatasan modal untuk beralih alat tangkap.
Di sisi lain, harus ada kemauan semua pemangku kepentingan perikanan untuk berbenah. Penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan sudah saatnya diakhiri melalui proses transisi yang didukung semua pihak.
Paradigma perikanan yang bertanggung jawab mengamanatkan pengelolaan yang lestari. Hal ini bukan berarti mengabaikan produksi dan kepentingan ekonomi. Penguatan pelaku usaha, khususnya nelayan dan pembudidaya kecil, harus menjadi fokus pemerintah dalam membangkitkan industri. Sejalan dengan itu, pengawasan mutlak ditingkatkan agar kebijakan pelarangan tidak menjadi jalan pintas dari ketidakberdayaan pemerintah dalam pengawasan.
Kementerian dan lembaga masih punya pekerjaan rumah untuk menjalankan Instruksi Presiden Nomor 7/2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional. Di sisi lain, kinerja produksi ekspor perikanan tahun 2017 cenderung menurun. Target ekspor dari yang semula 7,6 miliar dollar AS turun menjadi 4,5 miliar dollar AS.
Pusaran kepentingan dan ego sektoral wajib ditanggalkan agar tidak mengorbankan kepentingan rakyat yang lebih besar, apalagi sampai mengakibatkan pusara sektor perikanan. Kini, waktunya mencari solusi.
Kemajuan sektor kelautan dan perikanan menjadi garis langkah bangsa bahari untuk bisa menyejahterakan pelaku di sektor tersebut, meningkatkan devisa negara, dan terutama mencukupi kebutuhan konsumsi rakyat. (BM Lukita Grahadyarini)