Pemerintah boleh sedikit lega karena penerimaan negara di sektor minyak dan gas bumi 2017 meningkat. Pada 2016, penerimaan negara dari sektor ini mencapai Rp 83,4 triliun, lalu melompat menjadi Rp 138 triliun pada 2017. Akan tetapi, yang patut jadi perhatian adalah cadangan minyak dan gas bumi yang terus merosot.
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, cadangan terbukti minyak sebanyak 3,3 miliar barrel. Adapun cadangan terbukti gas bumi sebesar 101,2 triliun kaki kubik. Sepanjang 2017, tingkat pengembalian cadangan sebesar 55 persen. Ini berarti, dari setiap 1 barrel minyak yang dikuras, penemuan cadangan sebagai penggantinya hanya 0,55 barrel. Ringkasnya, lebih banyak yang dikuras ketimbang yang ditemukan sebagai cadangan baru.
Apakah pemerintah kini ”loyo” dalam pencarian minyak dan gas? Tidak sepenuhnya tanggung jawab dapat dibebankan kepada pemerintah. Ingat, anggaran negara untuk eksplorasi memang sangat terbatas. Dalam urusan ini, peran swasta sangat dibutuhkan. Amat berisiko menggunakan uang negara untuk pencarian cadangan minyak dan gas baru dengan tingkat keberhasilan sebesar 50 persen.
Kabar buruknya, swasta pun kini tak banyak yang berinvestasi di bidang eksplorasi. Sepanjang 2017, realisasi investasi untuk eksplorasi di Indonesia hanya Rp 2,4 triliun. Jauh di bawah target yang dipatok sebanyak Rp 11,7 triliun. Harga minyak yang belum bangkit menjadi penyebabnya.
Pada 2016, rata-rata harga minyak OPEC sebesar 40,68 dollar AS per barrel. Terperosok dibandingkan dengan harga pada 2014 yang sebesar 96,29 dollar AS per barrel. Apalagi dibandingkan dengan kurun 2011-2013 yang harganya di atas 100 dollar AS per barrel. Harga minyak beranjak pelan pada 2017 menjadi 51,64 dollar AS per barrel. Kenaikan ini belum cukup mampu menggairahkan investasi hulu migas sehingga eksplorasi pun tak banyak dilakukan.
Jadi, kenaikan penerimaan negara dari sektor migas jelas terbantu oleh naiknya harga komoditas. Bukan oleh kinerja yang apik. Klaim soal kebijakan perubahan skema bagi hasil migas dari rezim cost recovery ke gross split belum dapat sepenuhnya dibuktikan. Masih ada rentang yang jauh dari minat investor pada pengelolaan lima wilayah kerja migas konvensional hingga penandatanganan kontrak bagi hasil berskema gross split.
Kembali ke soal cadangan. Bagaimana agar cadangan migas nasional bertambah? Hal itu harus dilakukan dengan eksplorasi, meneliti cekungan-cekungan hidrokarbon di seluruh pelosok Nusantara untuk memastikan kandungan minyak dan gas bumi. Dari 128 cekungan, yang sudah dieksplorasi dan diproduksi baru 45 persen. Sisanya belum tersentuh. Cara lainnya, menerapkan metode pengurasan minyak tingkat lanjut (EOR). Cara ini pun menuntut sejumlah pertimbangan, khususnya terkait posisi harga minyak mentah. EOR akan ekonomis jika harga minyak diperhitungkan di atas 60 dollar AS per barrel.
Faktor lain yang dapat dilakukan pemerintah agar potensi migas di perut bumi Indonesia dapat segera diproduksi adalah dengan mempermudah birokrasi investasi hulu migas.
Kisah pengembangan lapangan gas Blok Mahakam di Maluku sebaiknya harus dijadikan pengalaman. Pemerintah yang tak satu suara dalam hal model pengelolaan gas membuat waktu terbuang percuma. Selain berdampak pada manfaat yang tak bisa segera dinikmati, penambahan cadangan pun tertunda.
Di tengah lesunya investasi hulu migas dunia dan cadangan yang kian menipis, hal logis yang bisa dilakukan pemerintah adalah memberi kemudahan berbisnis. (ARIS PRASETYO)