Ekspor Mesti Diutamakan
Ekspor berbasis investasi mesti diperkuat dan menjadi agenda utama pemerintah, seperti halnya pembangunan infrastruktur. Hal ini untuk mengatasi struktur pendapatan yang rapuh.
JAKARTA, KOMPAS Struktur pendapatan dan pembiayaan Indonesia masih rapuh karena masih bergantung pada investasi asing dan utang luar negeri. Oleh karena itu, ekspor berbasis investasi mesti dijadikan agenda utama RI, selain pembangunan infrastruktur.
Penguatan ekspor berbasis investasi tersebut juga dalam rangka menjadikan transaksi berjalan menjadi surplus.
Berdasarkan data di laman Bank Indonesia yang dikutip Kompas, Jumat (12/1), transaksi berjalan pada triwulan III-2017 defisit 4,337 miliar dollar AS. Defisit transaksi berjalan itu ditutup transaksi modal yang surplus 11 juta dollar AS dan transaksi finansial yang surplus 10,428 miliar dollar AS. Dengan demikian, neraca pembayaran Indonesia per triwulan III-2017 surplus 5,359 miliar dollar AS.
Hal itu mengemuka dalam diskusi terbatas Bank Indonesia (BI) dengan sejumlah ekonom di Jakarta, Kamis (11/1) malam. Diskusi dihadiri Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara dan ekonom-ekonom muda penulis buku Indonesia Tahun 2030: Ide dan Gagasan Ekonom Muda Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
Mirza mengatakan, pembiayaan ekonomi di Indonesia masih bergantung pada investasi asing dan utang luar negeri, yang porsinya sekitar 50 persen dari produk domestik bruto (PDB). Pendapatan devisa pun banyak yang digunakan untuk membayar dividen investor asing dan bunga utang.
Pada 2016, defisit pendapatan primer sekitar 30 miliar dollar AS. Dari jumlah itu, sebesar 17,65 miliar dollar AS di antaranya digunakan untuk membayar dividen investasi langsung dari luar negeri dan 1,1 miliar dollar AS untuk membayar bunga utang investasi langsung.
”Sementara surplus ekspor pada 2016 sebesar 15,43 miliar dollar AS. Nilai surplus ekspor itu lebih rendah ketimbang nilai defisit pendapatan primer neraca transaksi berjalan Indonesia. Bahkan, nilai surplus ekspor tersebut lebih rendah dari nilai pembayaran dividen investasi langsung dari luar negeri,” kata Mirza.
Untuk itu, lanjut Mirza, ekspor sebagai sumber devisa negara perlu ditingkatkan. Ekspor harus menjadi agenda utama pemerintah, sama seperti pembangunan infrastruktur yang giat dilakukan agar neraca transaksi berjalan Indonesia surplus.
Menurut data BI, setidaknya pada triwulan I-2016 sampai dengan triwulan III-2017, transaksi berjalan selalu defisit.
Untuk mendorong ekspor, salah satu langkah yang bisa dilakukan RI adalah mengarahkan penanaman modal asing berorientasi ekspor dan rantai pasok nilai global. Namun, langkah itu perlu ditopang dengan hilirisasi industri agar ekspor Indonesia tidak selalu bergantung pada komoditas.
”Gaung peningkatan ekspor harus sama dengan gaung pembangunan infrastruktur. Indonesia telah memulainya dengan membangun infrastruktur, mengatasi persoalan-persoalan yang menghambat investasi, dan peningkatan devisa dari sektor pariwisata. Sudah saatnya Indonesia secara serius menggarap ekspor,” ujarnya.
Pasar baru
Ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, mengemukakan, performa kinerja ekspor Indonesia masih perlu ditingkatkan. Selain dengan hilirisasi berbasis investasi, pembukaan pasar-pasar baru negara-negara nontradisional juga perlu dilakukan. ”Pemerintah perlu memperbesar portofolio perdagangan Indonesia dengan negara-negara nontradisional. Selain itu, perjanjian-perjanjian perdagangan yang masih belum selesai juga perlu segera dirampungkan,” katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ekspor nonmigas RI pada Januari-November 2017 sebesar 139,68 miliar dollar AS. China merupakan negara tujuan ekspor nonmigas utama, dengan porsi 13,69 persen dari total ekspor nonmigas RI. Berikutnya, Amerika Serikat dengan porsi 11,25 persen.
Peneliti United Nations University Ibrahim Kholilu Rohman mengemukakan, perdagangan internasional perlu ditingkatkan melalui pembangunan ekosistem digital ekonomi nasional. Saat ini Indonesia mengembangkan perdagangan elektronik atau e-dagang, tetapi ekosistemnya masih belum terbangun optimal.
Data mengenai e-dagang belum terkumpul menjadi basis data yang bisa digunakan sebagai patokan untuk mengambil kebijakan. Sektor e-dagang itu juga belum terintegrasi dengan sektor industri dan jasa.
”Ekonomi digital tidak hanya menyangkut e-dagang, tetapi juga teknologi komunikasi dan informasi di sektor manufaktur dan jasa. Ketiganya harus membentuk ekosistem ekonomi digital untuk meningkatkan ekonomi nasional, khususnya sektor perdagangan,” katanya. (HEN)